BAB 3
Kartosoewirjo dalam Kancah Gerakan Nasionalisme Indonesia
Pada
tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke
Surabaya melanjutkan studinya pada Sekolah Kedokteran Belanda untuk
Pribumi, NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School). Di sekolah tersebut
ia mengikuti tingkat persiapan (Voorbereidende School) selama tiga
tahun. Kemudian pada tahun 1926 ia memulai kuliah utama yang sebenarnya,
yang hanya khusus membahas persoalan-persoalan medis. Justru pada
saat-saat kuliah inti inilah ia terlibat dengan banyak aktivitas
organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya. Dikenal ketika
itu daerah Surabaya merupakan kota pergerakan kaum nasionalis Hindia.
Untuk melihat bagaimana kiprah dan pemikiran Kartosoewirjo yang
dipengaruhi oleh berbagai ideologi ketika itu, maka kita perlu terlebih
dahulu memahami konteks sosial-politik kota Surabaya tahun 1920-an.
Di
Surabaya sudah banyak bermunculan gerakan kaum nasionalis dengan
berbagai organisasi tempat mereka berkumpul dan berdebat tentang
cita-cita bagaimana bentuk Indonesia di masa depan. Para intelektual
mulai memikirkan tentang sistem negara, ideologi atau haluan politik dan
bentuk perjuangan yang kesemuanya mengambil konsep-konsep modern dari
Barat. Hanya sedikit yang mengambilnya dari latar belakang sejarah
Islam. Maka, tidaklah terlalu salah jika kita mengatakan bahwa
modernisasi Indonesia dimulai pada periode ini. Keengganan para modernis
Indonesia untuk memakai sistim Islam yang nantinya telah menyeret
bangsa Indonesia yang akan diperjuangkan ke dalam lembah krisis yang
berkepanjangan. Kunci perkembangan pada masa ini, sebagaimana disebut
M.C. Ricklefs, adalah "munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan
dikenalnya definisi-definisi dan konsep-konsep baru yang sebelumnya
tidak pernah didengar oleh sebagian besar masyarakat Indonesia waktu
itu." Ide baru tentang organisasi meliputi bentuk-bentuk organisasi dan
sistem kepemimpinan yang baru, sedangkan definisi yang baru dan
konsep-konsep baru yang, mengutip Ricklefs, "lebih canggih mengenai
identitas meliputi analisis yang lebih mendalam tentang lingkungan
agama, sosial, politik, dan ekonomi." Organisasi-organisasi kaum
nasionalis itu terhimpun menjadi satu di dalam wadah yang bernama
Perhimpunan Indonesia (PI). Di dalam perhimpunan ini terdapat banyak
aliran pemikiran dan kecenderungan ideologis yang sedikitnya ada empat
pikiran pokok dalam ideologi PI yang dikembangkannya sejak permulaan
tahun 1925. Ideologi perhimpunan menempatkan kemerdekaan Indonesia
sebagai tujuan politik utama dengan memperhatikan persoalan-persoalan
sosial dan ekonomi serta politik. Keempat pemikiran pokok itu adalah:
Pertama,
Kesatuan Nasional: perlunya bangsa Indonesia mengenyampingkan
perbedaan-perbedaan sempit dan perbedaan etnis serta kedaerahan sehingga
perlu ada kesatuan aksi melawan Belanda untuk menciptakan negara
kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu. Kedua, Solidaritas:
kebulatan dan persatuan yang kukuh antara pribumi tanpa melihat
perbedaan yang ada antara sesama orang Indonesia. Yang perlu disadari
adalah antara "kita di sini" dan "mereka di sana" berbeda dan ada
pertentangan kepentingan yang mendasar antara penjajah dan kaum
nasionalis haruslah mempertajam konflik antara orang kulit putih dan
sawo matang. Persatuan biasanya diperoleh karena ada musuh bersama dari
luar. Ketiga, Non-kooperasi: gerakan yang sama sekali tidak mau
berkompromi dengan segala hal yang berbau kolonial. Tidak bekerjasama
ini diartikan sebagai upaya menyadari bahwa kemerdekaan bukan hadiah
sukarela dari Belanda tetapi harus direbut dan diperjuangkan oleh
seluruh rakyat bangsa Indonesia dengan mengandalkan kekuatan dan
kemampuan sendiri, oleh kerena itu tidak perlu mengindahkan segala
kebijakan yang dibuat oleh dewan perwakilan kolonial seperti Volksraad
(Majelis Rakyat). Bahkan kaum nasionalis Islam lebih keras lagi dalam
memandang Volksraad seperti Volkshuis (Rumah Rakyat) yang bertentangan
"Rumah Tuhan" (Masjid). Keempat, Swadaya: dengan swadaya gerakan kaum
nasionalis dimaksudkan sebagai "gerakan yang tidak berkenan bersyarikat
dengan penjajah"; mengandalkan kekuatan sendiri dan mengembangkan suatu
struktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi,
dan hukum, yang kuat dan berakar dalam masyarakat pribumi dan sejajar
dengan administrasi kolonial.
Yang jauh lebih penting dari pada
kemenonjolan sementara dari sayap kooperasi gerakan nasionalis tahun
1930, adalah perpecahan yang terbuka antara kelompok nasionalis sekuler
dan nasionalis Islam. Organisasi jahiliyah pertama yang menjadi
cikal-bakal semua organisasi sekuler adalah Perserikatan Nasional
Indonesia. Pada tanggal 4 Juli 1927 Sukarno dan Algemeene Studieclubnya
memprakarsai pembentukan sebuah partai politik baru, Perserikatan
Nasional Indonesia, dengan Sukarno sebagai ketuanya. Namun sekitar bulan
Mei 1928 nama partai ini diubah menjadi Partai Nasional Indonesia
(PNI). Tujuan PNI adalah kemerdekaan bagi Kepulauan Indonesia yang akan
dicapai secara nonkooperatif dan dengan basis serta dukungan dari
organisasi massa. Inilah partai politik penting pertama yang
beranggotakan bangsa Indonesia, dimana program yang ingin dicapai dari
PNI ini semata-mata mencita-citakan kemerdekaan politik, berpandangan
kewilayahan yang meliputi batas-batas Indonesia yang nantinya akan
memberlakukan ideologi nasionalisme 'sekuler'. Pada bulan Mei 1929 PNI
telah mempunyai cabang-cabangnya di kota-kota besar di Jawa dan satu
cabang di Palembang, serta menyatakan memiliki anggota sebanyak 3.860
orang (sebagian besar di Bandung, Batavia, dan Surabaya); pada akhir
tahun 1929 jumlah anggota partai ini mencapai 10.000 orang.
Perbedaan
paham antara kedua kelompok antara nasionalis Sekuler dan Islam melebar
secara nyata pada tahun 1928 dan 1929 ketika pemimpin-pemimpin PSI
semakin khawatir atas dominasi PNI dalam gelanggang politik dan atas
kemerosotan dirinya yang berjalan terus. Usaha untuk mengorganisasi
kembali dan meremajakan PSI tidak mampu mencegah merosotnya partai ini.
Desas-desus tentang korupsi dalam partai hanya mempercepat proses
kemunduran tersebut. Ketegangan antara golongan nasionalis sekuler
dengan PSI mendekati titik perpecahan ketika dalam pengadilan terhadap
Sukarno pada bulan Agustus diungkapkan sepucuk surat Tjipto Mangunkusumo
kepada Sukarno tertanggal Maret 1928, di mana Tjipto memperingatkan
bahaya Pan-Islamisme dan kemungkinan usaha-suaha Tjokroaminoto dan Salim
untuk menguasai PPPKI. Kalau mereka berhasil, menurut Tjipto, akibatnya
akan hancurlah gerakan nasionalis. Tjipto memperingatkan Sukarno
terhadap “ulah pengkhianat” yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dengan
PSI. Semua pembaharu pada awalnya adalah "pemberontak" atau cap-cap
negatif lainnya yang diberikan oleh lawan-lawannya.
Begitu tajamnya
kritikan yang dialamatkan kepada kelompok Islam telah membuat kalangan
pemimpin Islam marah, disamping itu adanya kemerosotan di tubuh
organisasi PSI, maka pemimpin-pemimpin Islam yang tergabung dalam PSI
mengadakan perlawanan dengan serangan balasan terhadap kaum nasionalis
sekuler pada umumnya dan PNI pada khususnya. Dibalik pertentangan yang
begitu sengit ini sebenarnya telah tercipta sebuah pembentukan
kepemimpinan Indonesia dimasa mendatang. Namun karena adanya
pertentangan mengenai antara garis-garis agama dan ideologi dengan
kesadaran diri untuk keluar dari kolonialisme membawa akibat besar
dengan telah terpecah belahnya bentuk dasar kepemimpinan. Dan hal ini
dimanfaatkan sekali oleh pihak Belanda untuk membuat penindasan baru
sebagai jawaban terhadap permasalahan yang sedang terjadi yaitu dengan
mengubah pandangan tentang kepemimpinan Indonesia di masa yang akan
datang. Bukan hanya di sektor politik tapi juga di sektor ekonomi
kolonialisme Belanda telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan
masyarakat yang ada di Pulau Banda. Pengerukan besar-besaran dari hasil
kebun pala yang menjadi komoditas di daerah tersebut telah menyeret
rakyat disana menghadapi segala kesulitannya. miskin
Sesungguhnya
peran yang dimainkan oleh PPPKI pada sekitar tahun 30an untuk
meminimalisasi perseteruan yang sedang terjadi antara golongan
nasionalis Islam dan Sekuler tidak mampu berbuat banyak, bahkan
perseteruan itu semakin meningkat sehingga membawa akibat perlu adanya
koreksi tentang fungsi PPPKI sebagai suatu forum antara golongan yang
mempunyai prinsip perjuangan koperatif dan non kooperatif. Dan hal ini
pula yang mengancam tentang eksistensi PPPKI.
Dalam rapat PPPKI
yang diadakan pada bulan Maret telah diambil keputusan berupa pelarangan
membentuk kepengerusan ditingkat daerah tetapi cukup dengan menunjuk
agen-agennya di kota-kota besar di Jawa yang bertujuan untuk mengadakan
satu kontrol terhadap Dewan Penasehat dalam menjalankan semua aktifitas
partai. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa federasi telah menyebar ke
tingkat bawah dan terbentuk menjadi satu kekuatan politik. Pada rapat
PPPKI di Solo tanggal 25 Desember 1929, ketika wakil-wakil partai
anggota sedang mengadakan kongres partai, di di luar dari perkiraan
mereka bahwa setelah beberap hari acara kongres itu dilangsungkan ada
beberapa dari peserta kongres itu yang akan ditangkap. Padahal inti
pembicaraan dalam kongres itu bukanlah pada reaksi terhadap pihak
federasi tetapi pada seputar perkembangan gerakan nasionalis di masa
depan. Dan di dalam serangkaian perdebatan ketegangan antara golongan
nasionalis sekuler dengan nasionalis Islam mencapai puncaknya dan
mengancam kelangsungan eksistensi federasi itu.
Hal yang menarik
selama periode perjuangan PSI dalam federasi ini ialah dimana Sukiman
seorang fungsionaris partai PSI yang juga merupakan pendiri dari PPPKI
dan penganjur yang paling gigih dalam keinginannya memasukkan PSI ke
dalam PPPKI. Pada kongres partai di Yogyakarta tanggal 24 – 27 Januari
1930, dia dan Drijowongso melaporkan tentang adanya serangan-serangan
terhadap PSI, sambil mengajukan usul agar partai itu segera menarik diri
dari federasi. Namun usulan yang diajukan oleh Sukiman tidak mendapat
jawaban pasti karena dirinya tidak lagi mendapat dukungan dari ketua
partai Tjokroaminoto. Bahkan sekarang peranan itu menjadi terbalik
karena Tjokroaminoto berusaha mempengaruhi partai tentang manfaat PPPKI
dalam situasi di mana Sukiman menghendakinya untuk keluar. Dalam
pemikiran Tjokroaminoto sangat riskan jika PSI keluar dari kenggaotaanya
di PPPKI dan berakibat buruk terhadap masa depan partai, ditambah
semakin terjepitnya posisi partai antara kaum pembaharu Muhammadiyah dan
Nahdatul Ulama yang konservatif. Ditambahkan oleh Tjokroaminoto, jika
hal itu terjadi dalam partai maka lepaslah kesempatan dalam mempengaruhi
golongan nasionalis sekuler, dan yang lebih parah lagi lambat atau
cepat partai akan mati. Dan terhadap kesalahan-kesalahan yang
dilakukannya selama menjadi anggota PPPKI, Tjokroaminoto dan
Kartosoewirjo akan siap mempertanggungjawabkannya. Namun demikian, rapat
tersebut tidak menyiapkan suasana untuk pengakuan semacam itu.
Tjokroaminoto kemudian terpaksa memperbaiki usul ini dengan suatu usul
lain bahwa bila PPPKI tidak puas dengan permintaan maaf secara tertulis
dari dia dan Sukarmadji maka PSI akan keluar dari federasi.
Sekitar tahun 1930 PSI mengadakan kongres partainya, dan dalam salah
satu keputusan kongresnya adalah mengubah nama partai menjadi Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII). Disamping itu ingin membuktikan kepada
para pengecam tentang jati diri partainya, bahwa PSII| ini didirikan
juga bertujuan hendak membentuk Negara Kesatuan Indonesia. Sekaligus
berupaya untuk mengadakan rujuk dengan kalangan nasionalis sekuler. Akan
tetapi rujuk dengan golongan nasionalis sekuler bukannya semakin lebih
dekat. Pada bulan Juli dan Agustus hubungan ini malah memburuk akibat
serangkaian karangan dalam surat kabar Soeara Oemoem, koran baru dari
kelompok Studi Indonesia, yaitu karangan-karangan yang oleh banyak
anggota PSII ditafsirkan sebagai penghinaan secara sengaja terhadap
keyakinan mereka. Karangan-karangan yang dimuat selama hampir dua bulan
mempertanyakannya manfaatnya perjalanan naik haji ke Mekkah yang
dibandingkan dengan pembuangan para pemimpin nasionalis ke Boven Digul.
Yang tersebut belakangan ini dianggap sebagai lebih berhak memperoleh
penghargaan.
Haruslah kita mengenal lebih jauh lagi tentang
bagaimana ideologi yang diperjuangankan oleh para nasionalis dalam
kancah panggung politik Indonesia saat itu. Sesungguhnya Kaum nasionalis
Indonesia saat itu memang sudah banyak terpengaruh oleh paham-paham
demokrasi, liberalisme, kapitalisme, sosialisme, Islam dan, yang
terbanyak, komunisme. Namun "daya celup Indonesia" terhadap semua
ideologi itu sangat luar biasa. Misalnya, walaupun para pemimpin PI
sangat terpengaruh oleh pikiran-pikiran Marxis-Leninis karena sudah
menunjukkan kesuksesannya dalam membebaskan Rusia dan mengubahnya
menjadi Soviet melalui sebuah Revolusi Bolshevik pada tahun 1917, namun
sedikit sekali dari mereka itu yang menggunakan analisa konflik kelas
(antara kelas buruh dan kelas majikan/bourguies) dalam masyarakat
Indonesia. Sebagai gantinya, mereka melancarkan suatu perjuangan ras
(race struggle) —sesuatu yang tidak ada di Rusia— antara orang Indonesia
yang berkulit coklat melawan orang Belanda yang berkulit putih, antara
bangsa Asia melawan bangsa Eropa atau, sebagaimana disebut Ingleson,
sebagai perjuangan “sini” lawan “sana”. Rakyat Indonesia berusaha
menekan perbedaan ideologis di antara mereka dan berusaha berjalan
menuju suatu "revolusi integrasi".
Perjuangan antara ras coklat
dengan ras putih juga merupakan pergulatan antara ras Asia dengan ras
Eropa yang imperialis. Jika abad ke-20 dianggap sebagai abad Asia, maka
kegagalan Belanda untuk hidup sesuai dengan cita-cita politik etis
mengakibatkan kaum muda Indonesia berkesimpulan bahwa orang Asia tidak
dapat lagi mengharapkan bantuan yang berarti dari bangsa Barat dalam
usaha mereka mencapai kemerdekaan. “Janji palsu” yang sangat terkenal
pernah diucapkan secara meyakinkan oleh Gubernur Jenderal Van Limburg
Stirum tahun 1918 tidak dapat diwujudkan karena terjadinya serangkaian
kegagalan pembaharuan konstitusional tahun 1922 untuk mengadakan
perubahan-perubahan penting; dan penolakan States General pada tahun
1925 terhadap pasal dalam rancangan undang-undang yang memungkinkan
orang Indonesia menjadi mayoritas dalam Volksraad (parlemen yang
didirikan di Batavia tahun 1918 dengan kekuasaan yang kecil, dengan
mayoritas wakil-wakil orang Eropa dan dengan pemilihannya secara tidak
langsung); maka semuanya itu semakin memerosotkan kepercayaan mereka
kepada Belanda. Dalam pandangan kaum nasionalis Volksraad merupakan
"parlemen palsu", untuk mengelabui kenyataan bahwa semua aspek kehidupan
orang Indonesia sudah diakomodasi oleh pemerintah Belanda.
Kemudian
muncullah zaman yang lebih buruk lagi di bawah masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Fock. Zaman ini ditandai oleh semakin ganasnya tekanan
yang dilakukan oleh Gubenur Jenderal Fock terhadap kegiatan politik
sejak tahun 1923, terutama terhadap PKI, memperkuat keyakinan mereka
bahwa berkerja sama dalam sistem kolonial hanya merupakan "onani
politik" yang sia-sia saja. Sistem kolonial harus dirombak secara
radikal. Perombakan radikal ini hanya mungkin dilakukan dengan cara
menarik garis perbedaan antara sana dan sini, artinya mereka menolak
untuk berjuang dengan mempergunakan fasilitas pemerintah kolonial
Belanda. Dalam suasana yang penuh hiruk pikuk perdebatan ideologis
seperti inilah Kartosoewirjo dibesarkan. Dan mudahlah dipahami dalam
atmosfir seperti ini ia berkenalan dengan berbagai aliran pemikiran, dan
aliran pemikiran yang paling berpengaruh ketika itu adalah pemikiran
Islam.
Selama di sekolah inilah Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan
pemikiran-pemikiran Islam. Di masa kuliahlah ia mulai "mengaji" secara
serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu "terasuki" oleh
shibghahtullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded dan semua
aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat
untuk Islam sahaja. Dia pun kemudian meninggalkan sekolah dan menjadi
tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah
Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari
berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan
politik. Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ia
kemudian aktif di berbagai diskusi politik. Ia juga memasuki organisasi
politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Hajo Oemar Said Tjokroaminoto.
Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto inilah yang kemudian banyak
mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosoewirjo. Setahun
kemudian dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis
politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang
diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan
sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba
ilmu tidak berani menuduhnya karena "terasuki" ilmu-ilmu Islam,
melainkan dituduh "komunis" karena memang ideologi ini sering dipandang
sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang
sangat berbahaya bagi penguasa yang zalim.
Karena pengaruh pamannya
yang sangat kuat, semakin membangkitkan minat Kartosoewirjo untuk
memperdalam ilmu di bidang politik. Tidaklah mengherankan, kalau
Kartosoewirjo nantinya telah tumbuh menjadi pribadi yang memiliki
kesadaran politik dan sekaligus memiliki integritas keislaman yang
tinggi. Buktinya ialah semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam
gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java, di
organisasi ini dia terpilih menjadi ketua cabang Jong Java di Surabaya.
Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota–anggota Jong Java yang lebih
mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond
(JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap
pemihakannya kepada agamanya, bukan pada paham nasionalisme, dan tak
lama setelah masuk dalam organisasi ini dia terpilih menjadi ketua
cabang JIB Surabaya. Melalui dua organisasi inilah kemudian membawa dia
menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal
"Sumpah Pemuda". Jadi Sumpah Pemuda bukanlah diprakarsai oleh
segelintir orang-orang priyayi Jawa, melainkan oleh tokoh-tokoh Islam.
Di
dalam kalangan priyayi Jawa yang 'baru', mereka memandang bahwa
pendidikan merupakan sebagai kunci menuju kemajuan. Oleh karena itu
mereka membentuk suatu organisasi yang benar-benar modern. Kelompok ini
mewakili suatu aliran sosial dan budaya yang penting di Indonesia pada
abad XX. Mereka itu terutama adalah abangan Pada awal abad XX. Di
antara kalangan-kalangan atas pemerintahan (priyayi) yang berada di
lingkungan kaum abangan ada yang berpendapat bahwa pendidikan Barat akan
memberikan kepada mereka suatu kunci menuju suatu perpaduan baru yang
mereka anggap sebagai dasar bagi suatu peremajaan kembali terhadap
kebudayaan, kelas, dan masyarakat mereka. Di antara kelompok ini
sebagian besar memandang Islam secara netral dan bersahabat, tetapi
dengan semakin meningkatnya tekanan-tekanan Islam beberapa di antaranya
menjadi memusuhi Islam.
Dengan keaktifannya di organisasi
kepemudaan, Kartosoewirjo berkenalan dengan tokoh Agoes Salim dan Oemar
Said Tjokroaminoto, pemimpin PSI (Partai Sjarikat Islam) yang
kharismatik, di mana pandangan politiknya, terutama cita-citanya akan
suatu Negara Islam (Daulah Islamiyah), yang di kemudian hari ternyata
sangat mempengaruhi jalan pikiran Kartosoewirjo. Keakraban secara
pribadi terjalin setelah Kartosoewirjo tinggal di rumahnya dan secara
kontinyu memperoleh transformasi pengalaman politik dari Tjokroaminoto.
PSI merupakan lawan ideologis partai-partai sekuler ketika itu. Partai
sekuler yang paling anti dengan PSI adalah Partai Nasional Indonesia
(PNI). PNI merupakan puncak usaha menemukan suatu partai yang didasarkan
kepada ideologi yang pada intinya berusaha mewujudkan persatuan
nasional, non-kooperasi, dan swadaya. PNI adalah organisasi sekuler yang
sesungguhnya sangat anti Islam, namun tidak banyak disadari oleh rakyat
Indonesia yang sudah tertutup matanya oleh figur kharismatik Soekarno.
Maka, menjelang akhir tahun 1927, dominasi PNI dalam gerakan nasionalis
sudah sangat luas, seiring dengan dominasi pribadi Soekarno dalam dunia
pergerakan.
Penantangan atau persaingan kepemimpinan dan harapan
untuk menjadi partai massa yang terbesar hanya diberikan secara tunggal
oleh Serikat Islam. Sejak pembentukannya dalam tahun 1911 Sarekat Islam
telah merupakan partai politik Islam yang terkemuka dan selama beberapa
tahun telah menjadi partai massa satu-satunya dalam zaman kolonial.
Kebesaran SI ini karena diawali oleh sebuah gerakan mesianistik Sjarikat
Dagang Islam yang didirikan oleh Hadji Samanhoedi di Solo pada tahun
1905 yang kemudian berubah menjadi Sjarikat Islam yang lebih
mengkonsentrasikan diri pada gerakan politik dan bukan semata-mata
gerakan ekonomi sebagaimana dilakukan oleh SDI. Perkembangan SI mencapai
puncaknya hingga tahun 1919 di mana hampir semua tempat di Indonesia
sudah memiliki kantor cabang SI. Setelah jaya biasanya segera datang
masa surut. Masa surut ini ditandai oleh terpecahnya SI menjadi dua
bagian yang secara ideologis berbeda jauh: SI Merah (komunis) dan SI
Putih (Islam). Tetapi pendukungnya telah menurun secara dramatis setelah
tahun 1919, ketika PKI mengambil alih sebagian besar anggota SI dan
memasukkannya pada SI Merah yang merupakan cikal-bakal Partai Komunis
Indonesia (PKI). PKI pun mengalami kemerosotan karena meletusnya
pemberontakan pada tahun 1926. Namun, kelemahan PKI bukan berarti
kekuatan bagi PSI yang ternyata tetap berada dalam kemerosotan yang
berjalan perlahan-lahan tetapi pasti. Namun demikian, kemerosotan PKI
setelah pemberontakan, memberi keyakinan kepada para pemimpin Serikat
Islam bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk mengembalikan kejayaan
mereka sebelumnya, dan mengisi kekosongan politik dengan suatu partai
yang diremajakan kembali.
Meskipun telah diadakan peningkatan
kegiatan dan perhatian terhadap reorganisasi tahun 1927, Serikat Islam,
yang pada tahun 1921 telah mengubah namanya menjadi Partai Serikat Islam
(PSI), gagal untuk memperoleh kembali dukungan yang telah hilang,
Kelemahan kepemimpinan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah,
merupakan sebab utama kegagalan tersebut. Tjokroaminoto dan Salim adalah
para veteran dalam gerakan nasionalis religius, dan meskipun ada
kegiatan sekelompok kecil anggota-anggota muda yang dipimpin oleh
Sukiman, seorang dokter lulusan Amsterdam, mereka tetap dapat menguasai
partai tersebut. Tekanan utama yang terus diberikan kepada Islam dan
gerakan Pan Islamisme, telah menyia-nyiakan usaha-usaha PSI untuk
menarik dukungan dari elite intelektual muda. Orang-orang ini sebaliknya
lebih tertarik kepada citra yang lebih radikal yang diproyeksikan oleh
PNI dan memberikan kepada partai tersebut kekuatan kepemimpinan eselon
satu atau dua, yang merupakan suatu faktor utama bagi dominasi PNI dalam
gerakan nasionalis.
PSI juga gagal dalam mencapai dukungan yang
berarti pada tingkat pedesaan, terutama karena ia semakin mengucilkan
dukungan kyai-kyai dan ulama pedesaan yang dalam tahun 1910 merupakan
elemen kunci bagi keberhasilan PSI. Hilangnya dukungan ini sebagian juga
disebabkan oleh tindakan-tindakan keras dari pemerintah terhadap PKI.
Hanya sedikit orang yang sekarang bersedia mengambil resiko membantu
suatu partai politik. Lebih penting lagi, sikap keagaamaan Tjokroaminoto
yang tidak ortodoks dan acaman bahwa modernisme Islam PSI akan
menyulitkan posisi mereka sendiri, menyebabkan mereka meninggalkan PSI.
Untuk mempertahankan ortodoksi terhadap penyelewengan-penyelewengan ini,
beberapa ulama di Jawa Timur mendirikan Nahdatul Ulama pada tahun 1926,
yang keorganisasiannya segera tersebar ke seluruh Jawa. PSI akan jauh
lebih sulit untuk dapat berakar di daerah pedesaan. PSI semakin terjepit
antara modernisme dinamis dari Muhammadiyah yang mempunyai basis di
kota dan ortodoksi dan konservatisme Nahdatul Ulama yang mempunyai basis
di pedesaan.
Pada sisi yang lain, langkah-langkah imbangan yang
dilakukan oleh pemerintah pada tingkat kabupaten dan desa ternyata
efektif, dan baik pegawai-pegawai bangsa Eropa maupun pegawai-pegawai
Indonesia semakin menaruh perhatian terhadap keluhan-keluhan di daerah,
dalam suatu usaha yang yang cukup berhasil menghilangkan setiap isyu
yang dapat dieksploitir oleh PSI. Perhatian terhadap keluhan yang benar
ataupun yang merupakan hasil bayangan saja kemudian dibarengi dengan
tindakan hukuman terhadap pemimpin-pemimpin PSI setempat yang
kegiatannya mengancam ketenangan di daerah. Tindakan itu dapat berbentuk
denda atau penjara bagi pemimpin daerah, tetapi meliputi juga
taktik-taktik seperti pengaturan kembali kerja-kerja di desa yang
bersifat mendesak agar jadwalnya jatuh bersamaan dengan rapat-rapat
terbuka yang diselenggarakan oleh PSI, sehingga orang-orang desa
akhirnya terhalang untuk mengikutinya, atau tercatat semua yang
mengikuti rapat-rapat PSI setempat dan kemudian melaporkan kepada wedana
untuk diwawancarai dan diperingatkan masing-masing secara pribadi.
Tekanan tersebut memberikan masing-masing secara pribadi. Disamping itu
memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan sebab di mana pun taktik
itu dijalankan maka ternyata bahwa sejumlah besar anggota PSI segera
melepaskan keanggotaannya atau mengembalikan kartu keanggotaannya kepada
lurah desa.
Akhirnya, pembaharuan organisasi PSI hanya berlangsung
di atas kertas, dan partai tersebut ternyata tidak mampu, bahkan saja
pada tahun 1927 tetapi juga pada tahun-tahun berikutnya, untuk
menciptakan suatu struktur organisasi yang kuat. PSI tidak bisa mencegah
proses kemundurannya secara pelan-pelan, baik melalui kepemimpinan yang
kuat maupun melalui reorganisasi. Dari persoalan ini kemudian timbul
masalah lain yang lebih permanen sifatnnya seperti masalah kekurangan
dana untuk menjalankan proyek-proyek yang lebih ambisius, yang sudah
cukup membuat mereka mampu menyaingi nasionalisme keras dari PNI. Sidang
kongres pada tanggal 1 Oktober 1927 menyetujui PSI untuk masuk sebagai
anggota federasi yang direncanakan, sehingga dengan demikian memberikan
kepada Sukiman dan Sukarno dukungan yang mereka perlukan untuk mengatur
pembentukannya secara resmi. Untuk tujuan tersebut diadakan sebuah rapat
pada tanggal 17 – 18 Desember 1927 di Sekolah Taman Siswa di Bandung.
Hadir dalam pertemuan tersebut wakil-wakil dari PSI, PNI, Budi Utomo,
Pasundan, Sumatranenbond, Kaum Betawi dan Kelompok Studi Indonesia.
Pada pertemuan tersebut menerima AD yang dipersiapkan oleh Sukarno dan
Sukiman untuk membentuk suatu federasi yang dikenal dengan nama
Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI)
dan memilih sebuah panitia yang terdiri dari Sabiran sebagai ketua,
Sunarjo sebagai Sekretaris dan Dr. Samsi sebagai anggota ketiga untuk
menyelenggarakan suatu konferensi dalam bulan Juli 1928. Sebuah dewan
penasehat dibentuk untuk mengurusi masalah-masalah yang dihadapi oleh
badan federasi sampai terbentuknya pengurusan tetap pada konferensi yang
akan datang. Iskaq Tjokroadisurjo menjadi ketua, Dr. Samsi menjadi
sekretaris merangkap bendahara, dan Sukiman berserta Sukarno menjadi
anggota dewan penasehat tersebut. Terakhir sekali, rapat tersebut
memutuskan agar dibentuk sebuah suratkabar nasional dan menunjuk Sartono
dan Parada Harahap untuk menjajagi dan melaporkan rencana tersebut.
Akan
tertapi, selama tahun 1919 pemerintah kolonial meninggalkan paham
liberal, karena van Limburg Stirum mulai menyadari segala sesuatunya
mulai tidak terkendalikan. Mula-mula dia berpaling kepada ISDV. Sejak
Revolusi Rusia tahun 1917 ISDV telah menjadi badan komunis yang lebih
nyata. Pada akhir tahun 1917 organisasi ini menghimpun sebanyak 3.000
orang serdadu dan kelasi ke dalam soviet-soviet (dewan-dewan), terutama
di kota pelabuhan Surabaya. Selama tahun 1918 dan 1919 pemerintah
membubarkan dewan-dewan tersebut, mengasingkan Sneevliet dan menahan
atau mengasingkan sebagian besar orang-orang Belanda lainnya yang
menjadi pimpinan partai ini. akan tetapi, ketika orang-orang Belanda
yang radikal itu menghilang, ISDV atuh pada pimpinan orang-orang
Indonesia, yang dengan cepat memungkinkan partai ini akhirnya
mendapatkan basis masanya. Insulinde adalah organisasi berikutnya yang
terkena pukulan. Pada awal tahun 1919 di Surakarta berlangsung
kekacauan-kekacauan pedesaan yang dipimpin oleh Haji Misbach, yang
khotbahnya mengenai doktrin bahwa Islam dan Komunisme adalah hal yang
sama menjadikan dirinya terkenal sebagai 'haji merah'. Pemimpin-pemimpin
Insulinde lainnya tampaknya juga terlibat, sehingga Misbach dan Douwes
Dekker ditahan dan Tjipto Mangunkusumo diasingkan dari semua wilayah
yang berbahasa Jawa. Selanjutnya adalah giliran SI.
Kaum nasional
dari segala aliran politik dengan cepat menyambut pembentukan PPPKI
sebagai suatu kemajuan penting dalam perjuangannya melawan Belanda. Ada
kecenderungan untuk melihat pembentukan PPPKI itu sendiri sebagai
pergeseran penting dalam perimbangan kekuatan dalam wilayah jajahan,
walaupun peringatan-peringatan terhadap sikap puas semacam itu
dikeluarkan oleh organ PNI dan oleh suratkabarnya Singgih Timboel.
Problem utama ialah bahwa satu-satunya ikatan bersama yang kuat antara
organisasi-organisasi nasionalis tersebut adalah suatu ikatan negatif,
yaitu bahwa semua mereka menentang musuh yang sama, yaitu Belanda. Dalam
bentuknya yang positif, semua partai-partai anggota menyatakan dengan
lantang dan berulang-ulang keinginan mereka untuk bersatu agar dapat
menghidupkan kembali masyarakatnya dan memaksa Belanda menarik diri,
tetapi masih terdapat hal-hal yang belum disetujui bersama yang menarik
masing-masing partai ke arah yang berbeda-beda. Dua isue terpenting
adalah prinsip kooperasi dan non-kooperasi dan peranan gerakan Islam
dalam gerakan kebangsaan dan, akhirnya, peranan Islam dalam negara
Indonesia yang direncanakan. Dalam rumusan AD federasi Sukiman dan
Sukarno berkeyakinan bahwa masalah-masalah ini telah dapat diselesaikan
dengan menghindari pembahasan tentangnya dan menegaskan bahwa badan
federasi hanya menaruh perhatian kepada hal-hal sampingan saja – hal-hal
yang paling sedikit sangkut-pautnya dengan tujuan-tujuan dasar dari
partai-partai anggota – sementara bidang-bidang yang paling utama dalam
kegiatan politik diserahkan kepada masing-masing partai.
Namun
demikian, pembentukan federasi tersebut merupakan sukses besar bagi
Sukarno dan Sukiman. Pada saat isyu kooperasi/non-kooperasi menimbulkan
emosi yang hebat dan di saat PSI merasa bahwa nasionalisme Islam
terancam oleh ideologi sekuler PNI, maka terbentuknya suatu badan
federasi merupakan suatu kemenangan bagi jerih payah dan keunggulan
diplomatis dari kedua orang tersebut. Usaha keduanya bersifat saling
mengisi dan tanpa salah satu dari keduanya maka PPPKI tak akan dapat
terbentuk. Sukarno memberi dorongan kepada persatuan dan menunjukkan
komitmen pribadi yang mampu menyingkirkan semua rintangan dan yang
menggairahkan sejumlah besar partai dan pemimpin-pemimpin dari berbagai
keyakinan untuk percaya bahwa suatu badan persatuan dapat terbentuk, dan
adalah kemenangan pribadi bagi pembela yang gigih dari prinsip
non-kooperasi itu bahwa ia dapat melakukan tawar-menawar secara damai
dengan penganut paham kooperasi. Tetapi untuk dapat berhasil, ia
memerlukan kerjasama dari partai Islam yang paling besar.
Pada
awal tahun 1927 ketika dikeluarkan dari NIAS dan dikeluarkan dari JIB,
Kartosoewirjo pulang ke rumah orang tuanya di Bojonegoro untuk beberapa
bulan. Kepulangan Kartosoewirjo tersebut setelah sebelumnya mendengar
khabar bahwa orangtuanya telah meninggal dunia. Untuk menunjukkan sebuah
pengabdian kepada orangtua di sana dia menjadi guru partikulir guna
membantu biaya hidup ibunya. Kehidupannya kemudian mengalami suatu
pergolakan yang luar biasa. Pemikiran-pemikirannya menjadi demikian
berkembang dan oleh beberapa orang Jawa yang masih jahiliyah ketika itu,
pandangan-pandangan Kartosoewirjo dianggap cukup radikal. Bahkan hingga
Jepang datang menjadi kekuatan imperialis baru, kisah hidup
Kartosoewirjo masih berjalan pada jalur yang radikal ini, yang
istiqamah. Padahal, imperialisme Jepang yang sudah dimulai sejak 1894
terkenal begitu kejam.
Namun dari serangkaian siksaan tentara Jepang
yang terkenal biadab itu, ternyata ada seberkas janji yang membesarkan
hati: janji pemberian kemerdekaan bagi Indonesia. Pada tanggal 7
September 1944 Perdana Menteri Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi
'Hindia Timur' (To-indo, istilah dalam bahasa Jepang yang terus dipakai
secara resmi sampai bulan April 1954). Akan tetapi, dia tidak menentukan
tanggal kemerdekaan itu, dan jelas diharapkan bahwa bangsa Indonesia
akan membalas janji ini dengan cara mendukung Jepang sebagai ungkapan
rasa terima kasih. Angkatan Darat ke-16 di Jawa kini diberitahu supaya
mendorong kekuatan-kekuatan nasionalis, dan bendera Indonesia boleh
dikibarkan di kantor-kantor Jawa Hokokai. Pada umumnya pihak angkatan
laut masih tetap tidak tertarik pada keseluruhan gagasan tersebut. Sejak
bulan Maret 1944 pihak angkatan laut telah membentuk beberapa komite
penasihat di daerah kekuasaannya, tetapi komite-komite itu tidak
mempunyai kekuasaan, hanya beranggotakan para pejabat serta bangsawan
pribumi dan hanya mengadakan pertemuan beberapa kali sebelum menyerahnya
Jepang. Angkatan Darat ke-25 di Sumatera mengumumkan berdirinya suatu
Badan Penasihat Pusat (Sumatera Chuo Sangi-in) yang sifatnya konsultatif
untuk pulau itu pada bulan Maret 1945, tetapi lembaga ini hanya satu
kali mengadakan pertemuan di Bukittinggi sebelum berakhirnya perang.
Dalam
bulan September pada tahun yang sama, Kartosoewirjo kembali ke
Surabaya, dan selanjutnya menerima tawaran Hadji Oemar Said
Tjokroaminoto untuk menjadi sekretaris pribadinya. Kemudian, dia turut
serta menemani HOS Tjokroaminoto yang pindah ke Cimahi dekat Bandung. Di
rumah Tjokro ini untuk pertama kalinya bertemu dengan Soekarno, yang
di saat itu telah menjadi ketua PNI (Peserikatan Nasional Indonesia).
Di rumah itulah mereka lama berdiskusi tentang politik, yang akhirnya
Kartosoewirjo mendapat kesan bahwa Tjokroaminoto adalah penasehat
politik Soekarno pada masa itu. Pertemuan yang sering antara
Kartosoewirjo dan Soekarno pada saat konferensi PPPKI (Permufakatan
Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia), yaitu suatu
musyawarah organisasi-organisasi politik Indonesia, yang dibentuk atas
inisiatif Soekarno. Baru bertemu kembali dengan Soekarno pada tahun
1942 di Jakarta pada kantor pusat Djawa Hokokai, ketika dalam
pemerintahan militer Jepang.
Kini terbentuklah kelompok-kelompok
pemuda dan militer yang baru. Untuk yang pertama kalinya Jawa Hokokai
diberikan organisasi pemuda sendiri, Barisan Pelopor, yang pada akhir
perang konon beranggotakan 80.000 orang. Pada mulanya Barisan Pelopor
akan digunakan untuk menyiarkan propaganda, tetapi pada bulan Mei 1945
organisasi ini mulai mengadakan latihan gerilya. Para pemimpin pemuda
perkotaan yang berpendidikan berhubungan dengan pemuda-pemuda
kelas-bawah yang ada di kota-kota besar dan kecil, dan sebaliknya mereka
secara resmi berhubungan dengan tokoh-tokoh Hokokai yang dipimpin oleh
Sukarno. Pada bulan Desember 1944 Masyumi juga diperbolehkan memiliki
sayap militer yang bernama Barisan Hizbullah (Pasukan Tuhan), yang
memulai latihannya pada bulan Februari 1945 dan konon mempunyai 50.000
orang anggota pada akhir perang. Kepemimpinan didominasi oleh
tokoh-tokoh Muhammadiyah dan anggota-anggota kelompok PSII dari masa
sebelum perang yang bersifat kooperatif yang dipimpin oleh Agus Salim.
Sekali lagi, para politisi penting Islam dari masa sebelum perang yang
bersifat nonkooperatif dilangkahi.
Pada bulan Desember 1927 di
Pekalongan, saat kongres PSIHT (Partai Sjarikat Islam Hindia Timoer)
Kartosoewirjo terpilih menjadi sekretaris umum PSIHT. Kemudian
diputuskan juga melalui kongres, bahwa pimpinan partai harus dipindahkan
ke Batavia. Setahun kemudian tepatnya pada bulan Oktober 1928,
Kartosoewirjo pernah menjadi peserta kongres pemuda Indonesia mewakili
partainya di Batavia, pada kongres tersebut Kartosoewirjo memberikan
pandangan tentang hakikat pendidikan pada masa yang akan datang. Namun
pandangannya itu bertentangan dengan pemikiran ketua kongres Sugondo.
Sehingga, debat sengit pun tak dapat terelakan. Ketika Kartosoewirjo
tetap mempertahankan argumentasinya, terpaksa Sugondo memukulkan palu di
atas meja, maka berakhirlah perdebatan itu.
Selain bertugas sebagai
sekretaris umum PSIHT, Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di
koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat
menjadi reporter. Pada tahun 1928 Kartosoewirjo banyak melakukan
perjalanan ke provinsi-provinsi dalam rangka tugasnya, berkaitan dengan
jabatannya sebagai Sekretaris Umum PSIHT dia mengunjungi cabang atau
ranting di daerah-daerah. Dan sempat dalam perjalanan tugasnya itu dia
pergi ke Malangbong, di sana dia bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat
yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera, yang pernah tertangkap
oleh Belanda beberapa bulan karena terlibat dalam peristiwa Cimareme.
Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan
Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929, di
saat itu usianya lebih muda dua tahun dari Kartosoewirjo. Dengan
kepindahan dia ke Malangbong, maka terangkatlah diri Kartosoewirjo
menjadi orang yang sangat terpandang di daerah tersebut. Bukan hanya
karena reputasi mertuanya saja yang sangat berpengaruh di daerah
Malangbong, akan tetapi reputasi dia juga cukup tinggi, di mana dia
pernah merasakan sekolah di NIAS, menjadi sekretaris pribadi HOS
Tjokroaminoto, menjabat sebagai sekretaris umum PSIHT dan anggota staff
harian Fadjar Asia. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan
dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada
tahun 1929, dalam usinya yang relatif muda sekitar 22 tahun,
Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam
kapasitasnya sebagai redaktur mulailah dia menerbitkan beberapa
artikel-artikel. Langkah awal dalam artikelnya sudah berani mengkritik,
sasaran pertama kritiknya ditujukan untuk menentang bangsawan-bangsawan
Jawa yang bekerja sama dengan Belanda. Di antara yang diserang oleh
Kartosoewirjo adalah Sultan Solo, ketika Sultan ini mengadakan resepsi
ulang tahunnya yang ke-64, Sultan Solo itu hanya memperhatikan
wartawan-wartawan Belanda. Tentang Sri Sultan Kartosoewirjo menulis
sebagai berikut:
“Rasa kebangsaan ta’ ada, keislaman poen
demikian poela halnja, kendatipoen ia menoeroet titelnja mendjadi kepala
agama Islam. Agama kebangsaan kita di tanah toempah darah ini.
Bangsanja dibelakangkan dan bangsa lain diberi hak jang lebih dari
batas..., jang soedah terang dan njata ialah: Boekan karena tjinta
bangsa dan tanah air…, melainkan karena keperloean diri sendiri belaka,
keperloean jang bersangkoetan dengan kesoenanannja.”
Selanjutnya
dia menulis, bahwa tidak ada perbedaan, siapa yang berkuasa, apakah itu
pemerintah sendiri atau pemerintahan bangsa lain, hasilnya sama saja,
yaitu bahwa rakyat tidak memiliki kemerdekaan.
“Semendjak zaman
keradjaan Padjadjaran sampai ke zaman Browidjojo, maka jang boleh
dianggap merdeka tjoema radjanja sadja. Tetapi rakjatnja sedjak zaman
itoe sampai ini waktoe tetap tinggal dalam gelombang perhambaan dan
perhinaan jang serendah-rendahnja dan sedalam-dalamnja”.
PSIHT
selalu berupaya untuk membela rakyat dan bangsanya, agar supaya kelak di
kemudian hari Indonesia menjadi Indonesia merdeka dan agama Islam
menjadi agama nasional bangsa Indonesia, demikian tulis Kartosoewirjo.
"Nasionalisme dalam Islam boekan satoe sport atau peloeang waktoe dan
joega boekan satoe tempat kesenangan melainkan adalah soeatu kewadjiban
jang berat atau ringannja haroes ditanggungkan.” Kartosoewirjo melihat
saatnya telah tiba, di mana rakyat telah terjaga dari tidurnya yang
selama berabad-abad lamanya dan sadar akan kewajiban dan haknya serta
sama-sama menemukan suatu persatuan yang berjuang untuk kepentingan
rakyat. Persatuan ini bagi Kartosoewirjo adalah PSIHT. Dia mengeritik,
bagaimana dengan cepatnya seseorang dituduh komunis, termasuk anggota
PMI (Pemoeda Moeslim Indonesia) yang dituduh sebagai gerakan komunis
yang dapat membahayakan keamanan dan tata tertib.
Kartosoewirjo
memperhatikan nasib para petani kecil, “yang menyewakan tanahnya kepada
perusahaan Barat atau pada kapitalis pribumi”. Dia juga marah sekali
atas kenaikan pajak sawah hingga 90%. Dia juga mengeritik kerja rodi
(Heerendienst) yang diganti dengan pembayaran tahunan, hanya karena
tidak ada lagi lapangan kerja, akibat krisis ekonomi di Hindia Belanda
pada masa itu. Ketika beberapa petani di Lampung yang diusir dari tanah
mereka oleh “sekelompok kapitalis asing”, petani ini meminta bantuan
kepada partai, Kartosoewirjo menulis tentang itu:
“Orang-orang
Lampoeng dipandang dan diperlakoekan sebagai monjet belaka, ialah monjet
jang dioesir dari sebatang pohon ke sebatang pohon lainnja.”
“Katanja ada Madjlis ini dan Madjlis itoe, ada Volksraad ada Vinciale
Raad dan Madjlis Negeri (Tweede Kamer) dan segalanja boeat melindoengi
ra’jat boeat menertibkan keamanan dan keadilan.” Tapi mana buktinya,
tanya Kartosoewirjo. Bukankah ini semua: “omong kosong belaka?”
Dia mengajak para buruh untuk memperbaiki keadaan mereka: “Djanganlah
berkeloeh-kesah! Djanganlah meminta-minta! Djanganlah tinggal diam
sadja! Kalau takoet mati djanganlah hidoep! Kalau hendak hidoep,
djanganlah takoet mati.”
Kartosoewirjo juga mencela hubungan
orang-orang Belanda di perkebunan-perkebunan dengan wanita-wanita
pribumi. Dan dia mengajak para orang kulit putih terutama pers Belanda
untuk menjernihkan masalah ini:
“Kalau mereka sesoenggoehnja
menghendaki perlakoean jang manis dari fihak kita, hendaklah mereka
memboeang segala perlakoean jang tidak lajak kepada bangsa Indonesia.”
Kemerdekaan bangsa Indonesia hanya bisa dicapai dengan pengorbanan yang
besar, demikianlah keyakinan Kartosoewirjo pada saat itu:
“Sebab kemerdekaan tanah air tidaklah sedikit harganja, jang oleh karena harganja, tentoe bakal memakan korban loear biasa.”
Karena artikel-artikel itu, Kartosoewirjo mendapat banyak musuh, tapi
justru bukan di pihak penguasa kolonial, melainkan di pihak bangsanya
sendiri, terutama di kalangan kaum nasionalis yang netral agama.
Perbedaan pendapat antara kaum nasionalis Islami dan yang netral agama
lebih jelas nampak pada tahun 1928/29, dan yang lebih menonjol lagi
ketika PNI lebih dominan di dalam pergerakan kebangsaan Indonesia dan di
lain pihak mundurnya Partai Serikat Islam Hindia Timoer (PSHIT). Ketika
kemunduran partainya tak dapat dibendung lagi, Kartosoewirjo meluapkan
kekecewaannya dan menyerang para Nasionalis netral agama, terutama
mereka yang menjadi anggota PNI. Maka dia dalam bulan-bulan terakhir
jabatannya sebagai redaktur dan wakil pimpinan Fadjar Asia menyerang
kaum Nasionalis netral agama. Artikel-artikelnya yang paling tajam tidak
lagi ditandatanganinya dengan nama aslinya, melainkan dengan nama
samaran “Arjo Djipang.”
Sasaran kritiknya adalah pimpinan redaksi
Bintang Timoer, Parada Harahap yang dimakinya dengan kata-kata emosional
tanpa meninggalkan analisis intelektualnya. Koran Bintang Timoer
disebutnya reaksioner, Parada Harahap sendiri disebut sebagai penjual
Bangsa Indonesia dan "Binatang tikoes dari Krekot.” Tentang Parada
Harahap dia menulis sebagai berikut: “Si Parada Harahap
mendjilat-djilat pantat dan mentjari moeka dan perlindoengan kepada
kaoem Nasionalis (PNI), Mendjilat pantat dan mentjari moeka, karena ia
perloe akan hal itoe sebab boleh djadi Parada Harahap takoet kalau ia
lantaran berboeat berchianat terhadap kepada bangsa dan tanah-air kita
--mendapat kemplangan di arah kepalanya, sehingga boleh djadi ia
mendjadi tidak sadar kalau tidak mampoes sama sekali.”
Dan dia
bertanya, “Parada Harahap kaja dari mana? Ta’ melainkan dari mendjilat
pantat kaoem kapitalis dan mendjoeal boedi rochnja kepada orang asing.”
Keresahan yang besar di antara para Nasionalis timbul karena artikel Kartosoewirjo mengenai bank nasional. Apa itu, tanyanya: “Jang dinamakan “national” jang tak lain melainkan bank setjara barat,
bank systeem tiroean, bank jang menimboelkan kapitalisme, bank jang
mendorong kita ke arah persesatan, bank jang akan memperoleh hasil
karena memoengoet rente.”
Koran harian Darmo Kondo di Solo menulis,
bahwa artikel ini menggoncangkan kaum nasionalis Indonesia dan
mendidihkan darah mereka. Darmo Kondo menganggap Nasionalisme kita ini
aneh, tulis Kartosoewirjo. Dan dia melanjutkan: “Kebangsaan kita
dianggap aneh oleh Darmo Kondo. Djanganlah kira kalau kita kaoem
kebangsaan jang berdasarkan kepada Islam dan ke Islaman tidak
berangan-angan ke Indonesia merdeka. Tjita-tjita itoe boekan monopolinja
collega dalam Darmo Kondo. Dan lagi djangan kira, bila kita orang Islam
tidak senantiasa beroesaha dan ichtiar sedapat-dapatnja oentoek
mentjapai tjita-tjita kita, soepaja kita dapat menguasai tanah air kita
sendiri. Tjoema perbedaan antara collega dalam Darmo Kondo dan kita
ialah, bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia bagi Nasionalisme jang
dinjatakan oleh redaksi Darmo Kondo itoe adalah poentjaknja jang
setinggi-tingginja, sedang kemerdekaan negeri toempah darah kita ini
bagi kita hanjalah satoe sjarat, soeatoe djembatan jang haroes kita
laloei, oentoek mentjapai tjita-tjita kita jang lebih tinggi dan lebih
moelia, ialah kemerdekaan dan berlakoenja agama Islam di tanah air kita
Indonesia ini dalam arti kata jang seloeas-loeasnja dan sebenarnja.
Djadi jang bagi kita hanja satoe sjarat (midel) itoe, bagi redaksi Darmo
Kondo adalah maksoed dan toejoean (doel) jang tertinggi.”
Dengan demikian pengertian Kartosoewirjo tentang kebangsaan sesuai dengan pandangan Tjokroaminoto yang menulis sebagai berikut: “Islam itoelah tjita-tjita kita jang tertinggi, sedang nasionalisme dan
patriotisme itoe ialah tanda-tanda hidoep kita sanggoep akan melakoekan
Islam dengan seloeas-loeas dan sepenoeh-penoehnja. Pertama-tama adalah
kita Moeslim, dan didalam ke Moesliman itoe adalah kita Nationalist dan
Patriot, jang menoedjoe kemerdekaan negeri toempah darah kita tidak
tjoema dengan perkataan-perkataan jang hebat dalam vergadering sadja,
tetapi pada tiap-tiap saat bersedia djoega mendjadikan korban sedjalan
apa sadja jang ada pada kita oentoek mentjari kemerdekaan negeri toempah
darah kita.”
Pemerintah kolonial merasa khawatir akan dinamika
baru di dalam pergerakan kebangsaan terutama yang ditimbulkan oleh PNI,
karena dari permulaan, partai ini mengambil sikap radikal dan
non-kooperatif dengan pemerintah kolonial. Tuntutannya jelas-jelas
“kemerdekaan Indonesia”. Sehingga pemerintah mengambil tindakan
respresif berupa pelarangan mengunakan istilah-istilah seperti “Merdeka”
atau “Kemerdekaan” di dalam pidato-pidato Soekarno. Dan pada akhir
tahun 1929 Soekarno bersama dengan tokoh-tokoh nasionalis lainnya
ditangkap oleh polisi kolonial karena kegiatan politiknya sudah sangat
meresahkan pemerintah kolonial. Tidak lama setelah itu PNI malah
dibubarkan sendiri oleh tokohnya, Mr. Sartono. Sementara pada tahun yang
sama Kartosoewirjo masih relatif tanpa rintangan dapat mengeluarkan
gagasan-gagasan politiknya dalam Fadjar Asia.
Kecewa akan perkembangan politik pada umumnya dan karena kejatuhan partainya sendiri, Kartosoewirjo menulis: “Dikelak kemoedian hari, djika soedah terbit perang “Brontojoedo
Djojobinangoen” kita berdiri di muka barisan kita. Sekarang ini baroe
perang gagal sadja.”
Selama dia bekerja di Batavia, Kartosoewirjo
hidup sangat sederhana, “Sebagai seorang lulusan ELS dan “putus kuliah”
di NIAS, sesungguhnya dia dapat hidup cukup mampu sekiranya dia mau
menjadi pegawai pemerintah atau bekerja pada kantor swasta. Tetapi
Kartosoewirjo tampaknya lebih suka dalam kehidupan yang sederhana
(qana’ah) serta mengabdikan semua tenaga dan pikiran bagi kehidupan
partai dan jurnalistiknya. Ketika H.O.S Tjokroaminoto jatuh sakit, pada
bulan September 1929 Kartosoewirjo mengambil alih pimpinan redaksi
Fadjar Asia. Tidak lama setelah dia memangku jabatan sebagai pimpinan
redaksi, Kartosoewirjo pun jatuh sakit disebabkan penyakit beri-beri.
Karena ketekunan, kesungguhan dan kegairahan pengabdian yang tinggi
dalam menjalankan tugas-tugasnya di harian Fadjar Asia, untuk
membebaskan negeri ini dari penjajahan. Sehingga, untuk sementara waktu
dia dibebaskan dari tugas kesehariannya di Batavia, kemudian dia pulang
ke kampung halaman istrinya di Malangbong untuk beristirahat sejenak
menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
Pada waktu Kartosoewirjo
pindah ke Malangbong, di akhir tahun 1929 dalam kongres partai PSII,
Kartosoewirjo terpilih menjadi wakil Partai tersebut untuk daerah Jawa
Barat. Selama dia menjalankan tugas-tugasnya di Malangbong, dia tidak
muncul di pentas percaturan politik. Sejarah tentang Jawa Barat ini
perlu kita pahami terlebih dahulu sehingga kita bisa mengerti mengapa
Kartosoewirjo memilih geografi Sunda ini sebagai tempat dikristalkannya
Darul Islam, tempat dimulainya satu pernyataan sikap seorang mujahid.
Tindak kekerasan di wilayah pedalaman Jawa semakin meningkat pada awal
tahun 1924 ketika bermunculan kelompok-kelompok yang menamakan diri
'sarekat hijau', terutama di Priangan. Kelompok-kelompok tersebut
merupakan gerombolan-gerombolan penjahat, para anggota polisi, dan para
kyai yang mendapat dukungan pemerintah Belanda dan pejabat-pejabat
priyayi. Pada awal tahun 1925 sekitar 20.000 orang anggotanya menyerang
rapat-rapat PKI dan SI serta mengancam para anggota mereka. Pengawasan
pemerintah semakin diperketat, dan apa yang tersisa dari pimpinan PKI
sering berada dalam tahanan.
Pada tahun 1911 kaum muslim Indonesia
di Jawa Barat mengambil langkah-langkah pertama ke arah pembaharuan
secara hati-hati. Guru-guru Syafi'i membentuk Persyarikatan Ulama
(Perserikatan Para Ilmuwan Agama); tetapi mereka juga terbuka menerima
beberapa ide pembaharuan paham modern dan sedikit sekali berhubungan
dengan kalangan pesantren yang bergaya lama. Keterbukaan dimulai ketika
Persyarikatan Ulama membuka sebuah sekolah di tahun 1916, juga
mendirikan sebuah panti asuhan yang dikelola oleh cabang wanitanya,
serta melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan ekonomi, seperti
percetakan, pertenunan, dan pertanian. Oleh karena itu kesempatan bagus
tidak disia-siakan oleh Kartosoewirjo untuk menggunakan pengaruhnya
demi meluasnya kegiatan PSII di daerah itu. kesempatan ini dipergunakan
juga untuk menjalin hubungan pribadi dengan ulama setempat, bukan hanya
di sekitar Malangbong, bahkan juga di daerah-daerah lain di Priangan
Timur. Di bawah bimbingan mertuanya Ardiwisastera yang menjadi salah
seorang anggota PSII terkemuka dari daerah itu dan seorang guru agama
yang sangat masyhur dibantu para ulama yang lain Kartosoewirjo
memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Usaha Kartosoewirjo
tidak berlalu begitu saja, pada kongres Partai PSII tahun 1931 dia
menjabat sebagai Sekretaris Umum PSII.
Partai Sjarikat Islam
Indonesia (PSII) merupakan kelanjutan dari Sjarikat Islam (SI) yang
dibentuk Hadji Samanhudi tahun 1912 di Solo. Sjarekat Islam itu sendiri
berkembang dari Sjarekat Dagang Islam yang dibentuk oleh para pedagang
pribumi sebagai jawaban atas gerakan emansipasi Cina pada awal abad
ke-20. Hanya dalam waktu 3 tahun sejak berdirinya SI, partai ini
merupakan suatu gerakan massa yang beranggotakan hampir setengah juta
orang. Setelah itu partai ini tidak pernah lagi beranggota sebanyak
itu. Sebagai gerakan massa yang pertama dan hanya satu-satunya pada saat
itu, Sjarikat Islam berusaha untuk mempersatukan sebanyak mungkin
rakyat Indonesia di dalam satu organisasi, dan partai ini untuk pertama
kali memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mewujudkan
keinginannya. SI merupakan wadah bagi kekuatan politik yang
bermacam-macam, dimulai dari Panislamist yang konservatif, hingga para
Marxist radikal. Keaneka-ragaman kekuatan politik yang berwadah dalam
partai ini menjadi problem yang utama, karena tidak lama kemudian
muncul gejala-gejala perpecahan. Ketika Kartosoewirjo memasuki partai
ini pada tahun 1927 yang sekarang disebut PSII, proses tersebut telah
terjadi.
Sebelum membicarakan reaksi SI terhadap ideologi-ideologi
modern ini, sebuah catatan singkat tentang Marxisme di Indonesia perlu
disertakan. Marxisme atau kemudian lebih dikenal dalam baju komunisme
pertama kali diperkenalkan oleh tokoh-tokoh Marxis Belanda, yang
diketuai oleh H.F.J. Sneevliet. Pada tahun 1913 H.J.F.M. Sneevliet
(1883-1942) tiba di Indonesia. Dia memulai karirnya sebagai seorang
penganut mistik Katolik tetapi kemudian beralih ke ide-ide sosial
demokratis yang revolusioner dan aktivisme serikat dagang. Dia kemudian
bertindak sebagai agen Komintern di Cina dengan nama samaran G. Maring.
Pada tahun 1914 kelompok Marxis ini mendirikan ISDV (Indische Sociaal
Democratsche Vereeninging, Organisasi Sosial Demokrat Hindia Belanda),
di Surabaya. Partai kecil beraliran kiri ini dengan cepat akan menjadi
partai Komunis pertama di Asia yang berada di luar negeri Uni Soviet.
Anggota ISDV hampir seluruhnya orang Belanda, tetapi organisasi ini
ingin memperoleh dasar di kalangan rakyat Indonesia. Pada tahun 1915-6
partai ini menjalin persekutuan dengan Insulinde (Kepulauan Hindia),
sebuah partai yang didirikan pada tahun 1907 dan setelah tahun 1913
menerima sebagian besar anggota Indische Partij yang berkebangsaan
Indo-Eropa, yang radikal. Anggota Insulinde berjumlah 6000 orang
termasuk beberapa orang Jawa yang terkemuka, tetapi organisasi ini jelas
bukanlah suatu alat yang ideal untuk menarik rakyat sebagai dasarnya.
Oleh karena itulah, maka perhatian ISDV mulai beralih kepada Sarekat
Islam, satu-satunya organisasi yang memiliki jumlah pengikut yang besar
di kalangan rakyat Indonesia.
Lewat organisasi inilah kemudian
gagasan-gagasan dan slogan-slogan Marxis diekspor ke dalam tubuh SI.
Dengan menginfiltrasi SI diharapkan ISDV dapat menguasai massa. Pada
tanggal 23 Mei 1920 sayap kiri partai SI di bawah pimpinan Semaun
mengubah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia), dengan SI cabang
Semarang sebagai pusatnya. Semaun dipilih sebagai ketuanya yang
pertama, sekalipun pada waktu itu masih tetap sebagai anggota SI.
Strategi dasar PKI ialah bagaimana menghancurkan pengaruh tokoh-tokoh SI
yang lain dan membawa SI secara keseluruhan melalui infiltrasi ke dalam
kamp komunis. Pada mulanya anggota PKI juga tetap menjadi anggota SI.
Pengaruh kiri di dalam Sarekat Islam semakin bertambah besar karena
ISDV berusaha memperoleh rakyat sebagai landasan. Pada tahun1914 seorang
pemuda Jawa buruh kereta api yang bernama Semaun (lahir tahun 1899)
menjadi anggota SI cabang Surabaya. Pada tahun 1916 dia pindah ke
Semarang, di mana Sneevliet aktif dalam Sarikat Buruh Kereta Api dan
Trem (VSTP: Vereniging Spoor en Tramweg-personeel). Kini Semaun juga
bergabung dengan ISDV. Jumlah anggota SI Semarang berkembang pesat
mencapai 20.000 orang pada tahun 1917, dan di bawah pengaruh Semaun
cabang ini mengambil garis anti kapitalis yang kuat. Cabang ini
menentang peran serta SI dalam kampanye Indië weerbaar, menentang
gagasan untuk duduk dalam Volksraad, dan dengan sengit menyerang
kepemimpinan Central Sarekat Islam (CSI). Dalam kongres SI tahun 1917
kelompok radikal tampak memperoleh dukungan yang sangat besar.
Tjokroaminoto merasa takut akan dimulai pertikaian intern dengan mereka
dan setuju melontarkan kecaman terhadap kapitalisme yang berdosa; dengan
demikian, nyata-nyata mengecam modal asing dan Cina tetapi bukan modal
yang ada pada para Haji Indonesia dan lain-lain. Abdul Muis (1890-1959),
seorang Minangkabau yang pernah menjadi wakil SI di dalam delegasi
Indië weerbaar ke negeri Belanda, melangkah sedemikian jauh ketika
mengatakan bahwa apabila ternyata Volksraad gagal, SI akan memberontak.
SI kini terpecah menjadi beberapa kelompok, dan Kelompok aliran
kiri yang dipimpin oleh cabang Semarang sangat menggebu-gebu dan
berusaha keras untuk mendapatkan kekuasaan. Disamping itu pada tahun
1917 di daerah Jawa Barat telah didirikan suatu cabang revolusioner
rahasia. Sangat sulit diharapkan dari mereka, disamping ketidak jelasan
arah perjuangan juga keanggotaan rakyat sulit dikendalikan karena
sebagian besar mereka cenderung terhadap tindakan kekerasan. Badai
perpecahan di dalam tubuh SI ini ketika tahun 1915 muncul satu kekuatan
baru di dalam tubuh SI. Pada tahun itu seorang Minangkabau bernama Haji
Agus Salim (1884-1954), yang bekerja sebagai mata-mata polisi turut
hadir dalam satu acara rapat yang diselenggarakan SI. Pada saat itula
dia berubah niat justru ingin mendukung tujuan SI, dan membawa
bersamanya komitment pada Pan-Islam dan Modernisme sebagai dasar yang
tepat untuk menjalankan kegiatan politik partai.
Ketika diadakan
pemilihan anggota Volksraad sekitar awal tahun 1918 sekaligus
mengumumkan hasilnya—Abdul Muis dari CSI dan Abdul Rivai seorang
Minangkabau yang menjadi anggota Insulinde, berhasil terpilih menjadi
anggota,—namun seorang Gubernur bernama Jenderal van Limburg Stirum
tidak puas dengan hasil ini. Dia menggunakan hak penunjukannya untuk
mengangkat Tjipto Mangunkusumo (yang sudah kembali dari pengasingan)
dari Insulinde dan Tjokroaminoto dari SI yang lebih bisa diajak bekerja
sama. Adapun dari orang Eropa yang berhasil terpilih adalah anggota yang
lebih progresif daripada sebagian besar anggota yang berkebangsaan
Indonesia. Oleh karena itu Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond
(Persekutuan Liberal Hindia Belanda) yang berkecenderungan terhadap
politik Ethis bekerja bersama-sama dengan kaum Sosialis Belanda (Sociaal
Democratische Arbeiderspartij: Partai Buruh Sosial Demokrat) dan
orang-orang Indonesia yang lebih liberal mengadakan satu koalisi dengan
membentuk suatu mayoritas dari anggota-anggota yang terpilih.
Tjokroaminoto
yang ingin mempertahankan persatuan pergerakan nasional agak sedikit
apologetik dengan memberikan kesempatan atau peluang pada golongan kiri.
Tjokroaminoto mengatakan bahwa sosialisme Islam “lebih awal dan lebih
baik dari sosialisme ciptaan Marx, baik dalam teori maupun praktek.”
Lebih jauh dikatakan bahwa gagasan-gagasan sosialime sudah inheren dalam
Islam. “Kita muslim, jadi kita sosialis,” ucap Tjokroaminoto. Ketika
SI pada tahun 1921 memberlakukan peraturan baru dalam rangka
melaksanakan disiplin partai yang tidak lagi memperbolehkan adanya
keanggotaan yang ganda, akhirnya terjadilah perpecahan yang nyata dalam
SI yang selanjutnya mempertegas wajah ke-Islamannya. Dan pada tahun
1930 SI berubah nama menjadi PSII (Partai Sjarikat Islam Indonesia).
Organisasi
PSII memiliki tradisi non kooperasi yang panjang usianya. Kebijaksanaan
politik tentang ini pertama-tama dirumuskan pada Kongres pertama
partainya pada tahun 1923 dan 1924. Dengan menemukan ilhamnya dalam
gerakan Mahatma Ghandi di India, dikembangkanlah konsep-konsep berdikari
(swadeshi) dan dilenyapkannya struktur kolonial yang berlaku (hidjrah).
Sifat yang agak agresif dari politik non kooperasi PSII tercermin
dalam kombinasi swadeshi dengan hidjrah. Jadi swadeshi sendiri yang
sudah mengandung penolakan pengaruh kolonial, selanjutnya diperdalam
oleh gagasan hidjrah, yang memungkinkan PSII merumuskan politik non
kooperasi yang agresif tanpa perlu menggunakan pemberontakan
terang-terangan.
Selanjutnya di dalam tubuh partai PSII terdapat
pertentangan antara kedua kelompok besar, yaitu antara Dewan eksekutif
(Ladjnah Tanfidzijah) di bawah pimpinan Abikusno Tjokrosujoso (adik
Tjokroaminoto) yang tetap memperjuangkan politik non kooperasi, di mana
dia tidak mau bekerja sama dengan fihak kolonial. Dan di satu pihak
Dewan Partai di bawah pimpinan H. Agus Salim yang cenderung pada sikap
untuk bekerja sama dengan kekuasaan kolonial. Dia khawatir, kalau
politik non kooperasi diteruskan, akan ada kerugian forum politik yang
akan mempercepat keruntuhan partai dan dia mendesak supaya diadakan
suatu referendum tentang masalah ini.
Juga Roem berpendapat, bahwa
rakyatlah yang paling menderita karena haluan yang dijalankan Abikusno
ini. Sebab partai tidak lagi mewakili kepentingan rakyat di Volksraad
dan semua itu hanyalah demi kepentingan politik partai. Meskipun sudah
banyak alasan yang dikemukakan oleh Salim tetap tidak berhasil
usul-usulnya itu diterima oleh partai, justru sebaliknya Abikusno
menuduh Salim hanya untuk mencari kursi dalam Volksraad. Sebelum
usul-usul Salim dapat diperdebatkan pada kongres partai yang berikutnya,
Abikusno telah meletakkan jabatannya sebagai ketua partai pada akhir
tahun 1935, sebab yang dikatakannya, dia tidak mau menghalangi Salim
dalam usahanya itu.
Kartosoewirjo yang pada saat itu masih menjabat
sebagai sekretaris Dewan Eksekutif, (Ladjnah Tanfidzijah), mengikuti
langkah Abikusno meletakkan jabatannya. Pada kongres partai ke 22
di Batavia bulan Juli tahun 1936 Abikusno terpilih menjadi ketua partai
PSII. Setelah cara pemilihan pimpinan partai yang baru diberlakukan,
yaitu kongres partai hanya harus memilih ketua partai saja. Di kongres
ini terlihat jelas bahwa Abikusno lebih kuat dibandingkan dengan Agus
Salim, dengan demikian Abikusno terpilih menjadi formatur, yang dapat
memilih sendiri anggota-anggota pimpinan lainnya. Dan melalui rapat
formatur ini Abikusno segera mengangkat Kartosoewirjo menjadi wakilnya.
Jabatan sebagai wakil ketua PSII dipegang Kartosoewirjo sampai ia keluar
dari partai dalam tahun 1939.
Setelah terpilihnya Abikusno
menjadi ketua partai dia mengumumkan bahwa pertentangan mengenai politik
hidjrah telah berakhir dan memerintahkan semua cabang-cabang partai
tersebut untuk tidak mengambil peduli pada saran-saran Salim. Dalam
bulan November 1936 dengan perasaan yang sangat kecewa atas sikap
Abikusno itu Salim membentuk suatu fraksi sendiri dalam tubuh partai
PSII di bawah pimpinan Moehammad Roem. Fraksi tersebut diberi nama
“Barisan Penjadar PSII” dan Salim berharap, bahwa di suatu saat nanti
usul-usulnya untuk bekerja sama dengan pemerintahan kolonial akan
disetujui. Setelah mendengar khabar bahwa Salim membentuk fraksi baru
tersebut, Abikusno segera memberikan responnya dan mengumumkan kepada
anggota-anggota PSII , bahwa politik hidjrah menjadi politik resmi
partai tersebut, dan dia melarang cabang-cabang partai dengan ancaman
pemecatan, bila mereka mendiskusikan usul-usul Salim atau mendukung
fraksi Salim. PSII hanya mencontoh Sunnah Rasulullah dan bukan
mengikuti pola pergerakan Barat, kata Abikusno. Anggota-anggota fraksi
Salim merasa bahwa mereka yang sudah sangat berjasa untuk partai dan
berjasa untuk “Oemat Islam dan kaoem sebangsa Indonesia, oleh poetjoek
pimpinan “Baroe” dibentjana namanya dan kehormatannja.” Pucuk pimpinan
kekurangan kesadaran sebagai pimpinan partai Islam yang hendak
menjunjung agama Islam. Tulis Sabirin. Sabirin sebagai anggota fraksi
Salim yakin, bahwa PSII akan menjadi satu perhimpunan rakyat “dalam
pengawasan polisi, tertutup langkahnja dalam politik.” Begitu juga Moh.
Roem sebagai ketua Barisan Penjadar menulis bahwa dari pergerakan
politik Indonesia akhirnya hanya tinggal namanya saja. Hak-hak dasar
demokrasi dianggap rendah oleh pimpinan partai, hak untuk mengeluarkan
pendapat secara bebas bagi anggota partai dilanggar, tulis Moehammad
Roem. “Partai memboetoehkan ketentraman, ketentraman jang akan terdapat
djika “doodsklok” soedah diboenjikan, ketentraman di liang koeboer.”
Dalam
bulan Januari 1937 Salim, Roem, Sabirin, Sangadji, Muslich dan 23
anggota fraksi Salim yang lainnya dikeluarkan dari keanggotaan PSII.
Dengan demikian terjadilah perpecahan PSII lebih lanjut, karena Salim
segera membentuk suatu partai Islam baru yang berdiri sendiri, yang
disebutnya “Pergerakan Penjadar”. Kritikan juga dilancarkan oleh
Kartosoewirjo kepada Agus Salim ketika diadakan kongres partai, dan
Kartosoewirjo menuntut suatu penerapan politik hidjrah yang tidak
mengenal kompromi. Kartosoewirjo menerangkan, bahwa politik ini
merupakan suatu jalan tengah antara Non-kooperasi dan Kooperasi. Oleh
karena itu, dalam kongres Abi Kusno menugaskan Kartosoewirjo untuk
menyusun suatu brosur tentang sikap hidjrah partai PSII.
Abikusno
Tjokrosujoso membuat pernyataan bahwa kongres PSII Juli 1936 telah
menyetujui politik Hijrah dan telah diuraikan secara terperinci oleh
Kartosoewirjo dalam suatu brosur dua jilid mengenai masalah ini yang
judulnya berbunyi “Sikap Hidjrah PSII” dan untuk Kata Pengantarnya
sendiri akan dibuat olehnya serta ditandatanganinya sebagai presiden dan
Arudji Kartawinata sebagai sekretaris PSII.
Hasil kongres yang
telah diputuskan bersama itu mendapat kritikan dari anggota-anggota
fraksi Salim, mereka menyatakan bahwa penjelasan tentang politik hidjrah
tidak dapat diperoleh melalui pimpinan partai apalagi melalui
brosur-brosur Kartosoewirjo. Semua itu kelihatan hanya sebagai suatu
bungkusan yang indah tetapi tanpa isi, tulis Sabirin. Kenyataannya
politik Hidjrah atau politik Non kooperasi PSII juga tetap tanpa hasil
seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Kritik Moh. Roem terhadap brosur
Kartosoewirjo terutama ditujukan pada bab akhir, di mana Kartosoewirjo
di dalam brosurnya menerangkan politik Hidjrah. “Mengapa tidak
diterangkan setjoekoepnja? Tanya Moehammad Roem. “Oentoek pengertian
jang lebih djelas, lebih baik diadakan sadja dhoekir “baroe” jaitoe,
mengoetjapkan perkataan “Politik Islam “100 kali”, begitu sarannya.
Pertanyaan tentang Non Kooperasi atau Kooperasi tidak dibahas
Kartosoewirjo di dalam brosur-brosurnya, hal itu sesuai dengan petunjuk
Abikusno. Masalah Non Kooperasi tidak penting bagi PSII dan tidak ada
gunanya. Hanya untuk memikirkan hal tersebut sudah merusak pikiran kita,
tulis Kartosoewirjo. Sebagian besar brosurnya ditujukan pada
pembahasan arti sebenarnya dan maksud hijrah. Dibedahnya Al-Quran yang
memuat kata hijrah dan dijelaskan artinya dalam konteks yang relevan.
Penafsiran dan pandangan Kartosoewirjo tentang perubahan konsep pada
konteks kolonial sangat teliti dan jauh jangkauannya. Dengan mendasarkan
diri pada Al-quran dinyatakan hijrah sebagai kewajiban “semua pria dan
wanita, tua dan muda,” kecuali mereka yang lemah, dan hijrah tidak boleh
dihentikan “sebelum Falah (Keselamatan) dan Fatah (Kemenangan atau
Pembukaan) tercapai.
Menurut Kartosoewirjo PSII berdiri di luar
badan/lembaga yang dibentuk oleh pemerintah kolonial, tetapi partai ini
tidak akan tinggal diam, bila rakyat dan bangsa akan dirugikan. Program
politik PSII dia bandingkan dengan Jihad selama waktu Hidjrah. Menurut
Kartosoewirjo, politik PSII adalah politik Islam, yang ia terangkan
sebagai berikut: “Jang dimaksoedkan dengan politik dalam faham Party
Sjarikat Islam Indonesia ialah politik Islam, politik sepandjang
adjaran-adjaran Islam. Dan dari sendirinja, maka politik jang
didjalankan oleh PSII ialah politik Islam. Boekan politik barat atau
politik membarat! Boekan politik jang tidak ada sangkoet-paoetnja dengan
Islam dan boekan poela politik jang “Boekan politik Islam” atau politik
di loear Islam”! Dalam brosurnya jilid I, Kartosoewirjo membahas
hubungan antara manusia dan agama, begitu juga antara agama dan politik.
Sejarah PSII antara tahun 1912-1936 dia bagi dalam tiga tahap, tahap
I, zaman Qouliyah yaitu antara tahun 1912-1923. Pada tahap ini perhatian
partai kebanyakan ditujukan pada hal-hal duniawi. Tahap yang kedua
adalah zaman Fi’liyah yaitu antara tahun 1923-1930, suatu zaman
peralihan, dan tahap yang ketiga adalah zaman I’tiqadiyah setelah tahun
1930. Pada tahap ini manusia sadar akan kewajiban-kewajiban agamanya.
Kartosoewirjo menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
menciptakan suatu dunia Islam yang murni. Dalam dunia Islam manusia
harus menjalankan perintah-perintah Allah dan nabinya secara
sungguh-sungguh dan benar.
Dalam jilid II, Kartosoewirjo
menjelaskan penafsiran arti-arti hidjrah, yang bagi PSII merupakan
kewajiban dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia.
Berbeda dengan Non Kooperasi yang mempunyai arti yang lebih negatif,
Hidjrah merupakan sikap yang positif, demikian Kartosuwiryo. Dia juga
menentang pendapat yang tersebar luas di Barat, bahwa jihad selalu harus
berarti perjuangan fisik. Dia membedakan dua macam Jihad, yaitu jihad
kecil (jihad ul asghar) untuk melindungi agama terhadap musuh-musuh
luar, dan jihad besar (jihad ul akbar) yang ditujukan untuk memerangi
musuh dalam diri manusia itu sendiri. Dan karena tidak ada Hidjrah
tanpa Jihad, maka PSII menyusun suatu program Jihad yang menjadi bagian
dari “jihad PSII”.
Pada kongres partai PSII yang ke 23 tahun 1937
di Bandung, di bawah pimpinan Kartosoewirjo dibentuk suatu komisi yang
harus menyusun suatu “program aksi hidjrah” (Daftar Oesaha Hidjrah
PSII). Di mana penyusunan program tersebut telah diputuskan juga dalam
kongres partai yang berikutnya pada tahun 1938 di Surabaya. Serta
diputuskan juga akan didirikan suatu lembaga pendidikan kader di
Malangbong dengan nama “Soeffah PSII”, yang akan dibuka pada tanggal 20
Februari 1939 di bawah pimpinan Kartosoewirjo sendiri sebagai wakil
presiden PSII, yang bertujuan untuk pendidikan politik bagi kaum
muslimin Indonesia, agar dengan demikian mereka dapat memerintah negara
mereka sendiri bila saatnya nanti telah tiba, khususnya bagi anggota
PSII yang laki-laki.
Akan tetapi sangat disayangkan sekali program
yang baik tersebut tidak bisa terwujud melalui partai seperti yang
direncanakan semula, karena dalam beberapa tahun kemudian situasi dalam
partai PSII mengalami perubahan haluan politiknya. Pada tahun 1939
Kartosoewirjo terlibat dalam pertengkaran yang sengit dengan mayoritas
pimpinan PSII yang diketuai Abikusno. Sebagai pimpinan partai Abikusno
mengajak Kartosoewirjo untuk memutar haluan politik partai dengan
bergabung ke GAPI (Gabungan Politik Islam) dalam mengatasi tekanan
Pemerintah Kolonial yang makin mendesak. Tetapi Kartosoewirjo tidak ikut
melaksanakan perubahan arah balik politik ini dan tanpa kompromi tetap
istiqomah pada pendiriannya, di mana satu-satunya haluan yang benar
adalah politik Hidjrah. Menurut Kartosoewirjo tuntutan GAPI, adalah
pembentukan suatu parlemen Indonesia, dan itu merupakan “sikap kooperasi
juga namun, dengan corak yang lain”.
Perubahan politik PSII dari
garis non kooperasinya yang dulu membuat brosur Sikap Hidjrah PSII yang
dibuat oleh Kartosoewirjo begitu besar arti dan nilainya, kini sudah
tidak berguna lagi. Pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh Kartosoewirjo
dicap sebagai anakronisme (yang tidak berkesesuaian). Maka untuk
mempertahankan kebenaran sikap PSII, Kartosoewirjo dengan anggotanya
yang sealiran antara lain Jusuf Taudjiri, dan Kamran membentuk partai
baru yaitu Komite Pembela Kebenaran PSII (KPK-PSII). Karena dimaksudkan
untuk bergerak di dalam PSII. Pada awal tahun 1939 Dewan Eksekutif PSII
mengeluarkannya dari partai, yang sebelum pemecatan Kartosoewirjo
dituduh telah menyalahgunakan uang partai. Dengan tindakan yang sepihak
dari partai ini Kartosoewirjo tidak menghiraukannya dan terus
melanjutkan rencananya semula untuk melaksanakan program aksi hidjrah
dan pembentukan lembaga pendidikan kader.
Pada kongres partai yang
ke 25 dalam bulan Januari 1940 di Palembang, melalui keputusan yang
diambil komite eksekutif partai resmilah pemecatan Kartosoewirjo,
Joesoef Taudjiri, Akis, Kamran, dan Sukoso dengan perimbangan 134 suara
setuju, 9 suara netral. Dan diputuskan juga dalam kongres tersebut bahwa
pelaksanaan program aksi Hidjrah tidak lagi diteruskan dan komisi yang
sebelumnya ditugaskan untuk menyusun program ini, akan dibubarkan. Serta
semua anggota PSII dilarang untuk memasuki Partai yang dibentuk oleh
Kartosoewirjo.
Dalam bulan Maret 1940 melalui rapat umum komite
Kartosoewirjo memutuskan mengubah KPK-PSII menjadi sebuah partai
independen, yang berkantor pusat di Malangbong. Maksud yang terkandung
sesungguhnya di belakang ini adalah bahwa komite akan berkembang menjadi
PSII yang sebenarnya. Karena PSII Abikusno Tjokrosujoso dirasakan
terdiri dari orang-orang yang telah mengkhianati haluan politik partai
PSII yang telah dirintis oleh pembesar-pembesar partai sebelumnya dan
berkhianat atas perjuangan masyarakat Islam yang sebenarnya. Dengan
memakai anggaran dasar dan peraturan-peraturan PSII yang lama,
Kartosoewirjo ingin menegaskan bahwa KPK PSII adalah kelanjutan yang
sebenarnya dari PSII yang lama. Sebab Kartosoewirjo merasa yakin bahwa
partainya ini adalah partai PSII yang benar.
Menurut Horikoshi,
pada sidang KPK-PSII yang pertama dalam bulan Maret 1940, dihadiri oleh
enam cabang PSII yang lama dari Jawa Barat di antaranya dari Cirebon,
Cibadak, Sukabumi, Pasanggrahan, Wanaraja dan Malangbong. Dalam sidang
itu, keluar juga Daftar Oesaha Hidjrah PSII yang penyusunannya
ditugaskan kepada Kartosoewirjo ketika dia masih menjabat sebagai wakil
ketua PSII. Daftar Oesaha Hidjrah PSII tersebut masih keluar dengan
judul aslinya dan dicetak oleh penerbitan yang didirikan oleh
Kartosoewirjo di Malangbong, yaitu “Poestaka Darul Islam”.
Kartosoewirjo juga masih merencanakan untuk menerbitkan suatu penafsiran
tentang program tersebut (Tafsir Daftar Oesaha Hidjrah) tetapi rencana
ini tertunda. Dalam kata pengantar brosurnya, Kartosoewirjo tidak
menyebut pemecatan dirinya dari PSII yang terjadi sebelumnya dan juga
tidak menyinggung bagaimana terjadinya pembentukan KPK-PSII. Bahkan dia
memberi kesan, bahwa dia sekarang mewakili PSII yang sebenarnya. Dia
hanya menyayangkan, bahwa Daftar Oesaha Hidjrah PSII tidak lagi dapat
diterbitkan sebelum berlangsungnya kongres PSII di Surabaya seperti yang
direncanakan. Dalam Bab I brosurnya, Kartosoewirjo membahas struktur
masyarakat yang menurut dia terdiri dari tiga macam masyarakat yang
berbeda-beda dalam hukum dan haluannya, dalam susunan dan aturannya dan
dalam sikap dan pendiriannya, tetapi hidup bersama-sama dalam satu
negeri.
Ketiga macam masyarakat tersebut adalah masyarakat Hindia
Belanda atau “masyarakat kejajahan” yang berkuasa; berikutnya adalah
masyarakat Indonesia yang belum mempunyai hukum maupun hak dan tidak
mempunyai pemerintahan sendiri, dan yang ketiga adalah masyarakat Islam
atau “Darul-Islam”. Perbedaan antara masyarakat Indonesia dan masyarakat
Islam menurut Kartosoewirjo adalah sebagai berikut: “…masyarakat
kebangsaan Indonesia mengarahkan langkah dan sepak terdjangnja ke
djoeroesan Indonesia Raja, agar soepaja dapat berbakti kepada Negeri
toempah darahnja, berbakti kepada Iboe-Indonesia. Sebaliknja, kaoem
Moeslimin jang hidoep dalam masjarakat Islam atau Daroel-Islam,
“tidaklah mereka ingin berbakti kepada Indonesia atau siapa poen djoega,
melainkan mereka hanja ingin berbakti kepada Allah jang Esa belaka”.
Maksoed toedjoeannja poen boekan Indonesia Raja, melainkan Daroel-Islam
jang sempoerna-sempoernanja di mana tiap-tiap Moeslim dan Moeslimah
dapat melakoekan hoekoem-hoekoem agama Allah (Islam), dengan
seloeas-loeasnja, baik jang berhoeboengan dengan sjahsiyah maoepoen
idjtima’iyah.
Pada bab berikutnya, Kartosoewirjo menyebutkan
alasan-alasan turunnya “harkat derajat manusia atau bangsa”, yaitu
karena “membelakangkan dan membohongkan agama Allah”. Kartosoewirjo
mengharapkan persatuan dunia Islam dengan umatnya secara keseluruhan.
Dan dia yakin, hanya dengan cara demikian dapat tercipta suatu dunia
baru atau “Darul Islam”. Program aksi Hidjrah dia bagi dalam
bidang-bidang politik, sosial, ekonomi, ibadah dan satu bidang tentang
mistik Islam serta “ajaran Islam yang lainnya”. Dalam bagian tentang
politik dia tanpa memberikan keterangan lebih lanjut hanya menyebut
politik Islam nasional, politik Islam Internasional dan politik Islam
terhadap dunia non Islam. Selanjutnya Kartosoewirjo menulis bahwa “kalau
kita Hidjrah dari Mekkah Indonesia ke Madinah Indonesia…, boekanlah
sekali-kali kita haroes berpindah kampoeng dan negeri beralih daerah dan
wilajah, melainkan hanjalah di dalam sifat, thabi’at,, amal, itiqad dan
lain-lain sebagainja.” Untuk mencapai Darul Islam yang
sesempurna-sempurnanya, tulis Kartosoewirjo selanjutnya, manusia harus
melepaskan “sifat, thabi’at dan laku ke-Mekkah-an dan beralih kepada
sifat, thabi’at dan laku ke-Madinah-an.”
Tentang perekonomian dia
menerangkan, bahwa sistem perekonomian harus berlandaskan pada
solidaritas dan kolektivitasme. Harta yang berlebihan dari pada
keperluan diri masing-masing atau rumah tangga haruslah disetorkan ke
dalam tempat perbendaharaan umum seperti Baitul-Mal yang kemudian akan
digunakan untuk membantu mereka yang berekonomi lemah. Dengan cara
demikian tidak terdapat penumpukan kekayaan yang berlebihan dan
kemiskinan akan dapat diperangi. “Ini adalah gambaran dunia Islam yang
kita inginkan” demikian tulis Kartosoewirjo.
Pada bulan Maret 1940,
rencana Kartosoewirjo diterima oleh kongres KPK PSII yang mengesahkan
sebuah resolusi untuk membuka lembaga pendidikan kader “Suffah” di dekat
Malangbong. Lembaga Suffah tersebut dibentuk dalam gaya sebuah
pesantren tradisional, di mana para siswanya juga bertempat tinggal di
sana. Kartosoewirjo sendiri mengajarkan bahasa Belanda, astrologi, dan
ilmu tauhid kepada para siswanya. Metode pengajaran diambil dari metode
H.O.S. Tjokroaminoto yang berarti bahwa para siswa di samping mendapat
pengajaran pengetahuan umum dan pendidikan agama Islam juga dididik
dalam Ilmu politik. Karena mengetahui bahwa mereka menghadapi kehilangan
kekuasaan, maka pihak Jepang memutuskan untuk menghapuskan
kekangan-kekangan yang masih ada terhadap kekuatan rakyat Indonesia.
Angkatan Darat ke-16 mendesak unsur-unsur yang lebih bersifat hati-hati
di dalam hierarki-hierarki Jepang supaya bertindak dengan cepat, karena
mereka benar-benar mengetahui bahwa bibit-bibit revolusi telah tertanam
dalam di Jawa. Pada bulan Maret 1945 pihak Jepang mengumumkan
pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang
mengadakan pertemuan pada akhir bulan Mei di bangunan lama Volksraad di
Jakarta. Keanggotaannya mewakili sebagian besar pemimpin setengah baya
di Jawa yang masih hidup yang berasal dari semua aliran pemikiran yang
penting. Radjiman Wediodiningrat menduduki jabatan ketua, sedangkan
Sukarno, Hatta, Mansur, Dewantara, Salim, Soetardjo Kartohadikoesoemo,
Abikoesno Tjokrosoejoso, Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasjim, Mohammad
Yamin, dan yang lain-lain duduk sebagai anggotanya. Keputusan
pengangkatan para pemimpin dari generasi tua ini diharapkan oleh Pihak
Jepang dapat diajak kerja samanya bila sudah merdeka nanti.
Sebagai dasar pendidikannya dia menggunakan konsep Daftar Usaha Hidjrah
yang terdiri dari 5 bagian itu. Siswa-siswanya tidak hanya berasal dari
Jawa Barat, tetapi juga dari provinsi lainnya di Jawa dan dari Sulawesi
Selatan, Sumatra dan Kalimantan. Awalnya banyak siswa yang merasa
kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di lembaga Suffah
yang penuh dengan disiplin, pekerjaan yang berat dan makanan yang
sederhana. Ternyata dengan niat yang suci dan hati yang tulus untuk
mendapatkan ridho ilahi akhirnya mereka mampu menempa dirinya dengan
semangat Ruhul-Islam yang memancar dalam pribadi-pribadi kemusliman
mereka, dan pada akhirnya dengan kesadaran, keyakinan dan panggilan
Ilahi untuk memenangkan Agama Allah di muka bumi ini, mereka siap sedia
dengan hati yang ikhlas menjadi tulang punggung kekuatan Darul Islam dan
menjadi ma’mum yang setia atas imam Kartosoewirjo, yang di kemudian
hari bersama-sama bahu membahu untuk tetap menggalang Negara Kurnia
Allah yang diproklamasikan pada tanggal 7 Agustus 1949.