Senin, 17 Desember 2018

BAB 1 - Pemikiran Politik Proklamator NII : SM Kartosoewirjo

BAB 1
Jawa Pada Awal Abad ke-20

Untuk memahami sosok dan pemikiran S.M. Kartosoewirjo sebagai seorang tokoh gerakan Islam, harus dipahami bagaimana lingkungan sosial-budaya dan masyarakat tempat ia berasal, yang membentuk pribadi dan mempengaruhi pemikirannya. Sebagai seorang yang dilahirkan dari lingkungan masyarakat Jawa pesisiran, Kartosoewirjo sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial-budaya dan tradisi Jawa, yang kemudian membentuk nilai-nilai bagi gerakan dan pemikirannya, sebagaimana ia memahami dan menerjemahkan ajaran-ajaran Islam ke dalam gerakannya, untuk itu harus dilihat situasi sosial masyarakat dan kondisi politik pada masa ia lahir dan tumbuh menjadi sosok proklamtor Negara Islam Indonesia.

Sudah sejak lama pulau Jawa merupakan pulau yang paling padat populasi penduduknya dibandingkan dengan pulau lainnya yang ada di kepulauan Indonesia. Di samping itu, pulau Jawa sangat strategis letaknya sebagai jalur lintas antar-pulau dan perdagangan di Nusantara. Maka tidak mengherankan jika pada abad ke-6 dan ke-7, telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu yang dibawa orang-orang India yang menandai perkembangan awal sejarah kerajaan Hindu di Nusantara. Disamping itu, pulau Jawa memiliki kesuburan tanah yang sangat baik bagi pengembangan pertanian. Tanahnya yang subur juga mempengaruhi suburnya gerakan-gerakan pemikiran. Meskipun agama Hindu telah memberi kontribusi yang banyak terhadap perkembangan masyarakat Indonesia, ditambah dengan inkulturasi budaya Islam dan Indo-Eropa, telah menghasilkan suatu "affinities and extreme" bagi perkembangan Indonesia modern kelak, namun Islamlah yang paling dinamis memberikan bentuk bulat-lonjongnya sejarah Indonesia hingga kini. Bulat-lonjongnya Indonesia terutama sangat dipengaruhi gerak dinamika kehidupan orang-orang di Jawa.

Dengan gemah-ripah-nya pulau Jawa membangkitkan semangat para imperialis Barat untuk menjadikan Indonesia khususnya pulau Jawa sebagai garden continuum untuk menyokong perekonomian negerinya. Para pedagang Belanda datang ke Hindia dengan maksud hendak menguasai perdagangan yang menguntungkan dari daerah ini, khususnya perdagangan rempah-rempah. Daya upaya untuk itu, telah mendorong hasrat untuk bersaing diantara negara-negara Eropa, seperti Portugis di wilayah perairan timur Indonesia ; Belanda, yang umumnya dilakukan Persekutuan Dagang Hindia Timur (Verenigde Oost-Indische Compagnie, disingkat VOC); dan Inggris di wilayah barat. Semenjak berdirinya VOC pada tahun 1602, Belanda menjadi empirium dagang yang kuat. Tahun 1619 Belanda memperkuat tempat pijakannya bagi perdagangan di Jawa Barat, dan berlanjut pada tahun 1620-an dengan mengusir pesaing-pesaingnya —Portugis dan Inggris — keluar dari Kepulauan Maluku, untuk mendapatkan basis kekuasaannya di kawasan ini.

Dengan daya pikat yang demikian besar dari Jawa atau Nusantara ini, maka kita melihat selama paruh pertama abad ke-18, Belanda sudah ikut campur tangan dalam kekuasaan para raja Jawa dengan serangkaian perang dalam suksesi di masa keruntuhan kerajaan Mataram. Dengan demikian, persaingan diantara penguasa Jawa ini telah menggugah Belanda untuk terlibat jauh dalam urusan politik di Jawa, tidak terkecuali persoalan intern di tubuh kerajaan-kerajaan Jawa. Upaya yang dilakukan Belanda dalam hal ini adalah dengan melindungi salah seorang diantara penuntut tahta kekuasaan yang saling bersaing. Begitu pula dalam usahanya mengembangkan perdagangannya, Belanda melalui VOC melibatkan diri dalam usaha-usaha "menentramkan" daerah pantai, yang berlanjut ke daerah pedalaman Jawa. Penentraman ini dimaksudkan untuk mengatur masyarakat dan penguasa Jawa dengan pola politik mereka. Selama bertahun-tahun Belanda menjalankan pengaruh terhadap penguasa-penguasa di Jawa dan perdagangan dikuasainya. Sampai kemudian pemerintah Belanda mengambil alih utang-piutang VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18, Belanda telah menjalankan kekuasaan politik yang luas atas Jawa. Semua orang yang hidup, beranak dan mati di Jawa sekecil apapun merasakan pengaruh kekuasaan Belanda ini. Dan, Kartosoewirjo adalah salah satu di antara mereka.

Tiga dasawarsa menjelang berakhirnya abad ke-19, politik liberal sudah mulai menggejala dan berpengaruh dalam perekonomian Indonesia. Di tengah-tengah sistem ekonomi yang tradisional, kondisi ekonomi Belanda mulai menampakkan perbedaannya yang mencolok. Keberadaan "pembangunan ekonomi" Barat ala Belanda belum mengangkat taraf hidup masyarakat pribumi di Jawa. Pengejaran keuntungan pengusaha-pengusaha Eropa membawa dampak yang sangat buruk dan memporak-poranda sendi-sendi perekonomian. Perkebunan dan pabrik muncul di mana-mana dan semuanya dikelola Belanda. Di pihak lain, usaha pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sangat jauh tertinggal dari percepatan perkembangan penduduk Jawa. Melihat kenyataan pengusaha-pengusaha swasta Belanda yang tidak mau memberi keuntungan dan kemakmuran bagi penduduk pribumi, telah menyadarkan para politikus yang dipengaruhi pemikiran humanisme liberal dan Marxisme yang sedang melanda daratan Eropa pada saat itu, bahwa kemiskinan pribumi harus diatasi terlebih dahulu, sebelum menumbuhkan tanah jajahan menjadi sebuah pasar yang lebih menggembirakan.

Melihat kebijakan kolonial Belanda yang tidak ada keberpihakannya terhadap kaum pribumi di Hindia, beberapa tokoh humanis memberikan reaksi yang sangat keras, bahkan dari orang-orang Belanda sendiri. C. Th. Van Deventer, seorang pengacara dan bekas pejabat peradilan kolonial kemudian anggota parlemen Negeri Belanda, menuliskan cerita-cerita nasib rakyat jajahan di dalam sebuah bukunya di tahun 1899, tentang kebiadaban dan kesewenang-wenangan yang dilakukan para pengusaha Belanda. Kritik ini, sekecil apapun telah sangat berpengaruh yang menentukan bagi perubahan politik kolonial. Desakan ini membuat Ratu Wilhelmina mengubah kebijakan Kerajaan Belanda dalam menghadapi persoalan tanah jajahan dan rakyat pribumi. Di tahun 1901 Ratu Wilhelmina menyerukan perubahan kebijakan politik tanah jajahan, yang merupakan bermulanya zaman baru dalam politik kolonial Belanda, yang kemudian disebut sebagai "Politik Etis" Belanda. Inilah pidato yang diucapkannya dari atas tahta Kerajaan Belanda:

"Sebagai negara Kristen, Negeri Belanda wajib memperbaiki kedudukan hukum orang-orang Kristen pribumi di Kepulauan Hindia, memberikan dukungan kuat pada misi Kristen, dan menanamkan pada seluruh sistem pemerintahan dengan kesadaran bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban moral terhadap penduduk di kawasan ini. Walaupun pada awalnya, sasaran yang diharapkan dari pidato Ratu tersebut lebih menekankan kepada kesejahteraan pribumi Kristen, namun perhatian itu kemudian meluas meliputi juga seluruh penduduk pribumi, tanpa pandang agama. Tetapi sangatlah penting untuk diperhatikan, bahwa sikap politik etis ini didasari oleh suatu keyakinan yang mendalam tentang keunggulan budaya Barat. Dengan perkataan lain pembaharuan harus dilaksanakan dari atas; modernisasi dipersamakan dengan pem-Barat-an atau lebih tegas lagi pem-Belanda-an."

Maka, dengan segala "keinsyafannya", meskipun dangkal di mata pribumi negeri jajahan, dibangunlah institusi-institusi pendidikan modern di Nusantara. Jawa mendapat prioritas karena pulau ini memiliki masyarakat pasifis dalam jumlah yang besar. Perangkat-perangkat keras berdatangan dari Eropa, memasuki masyarakat agraris tradisional dan berpola pikir sederhana. Perangkat ideologis pun ikut serta di dalamnya secara bersamaan. Yang terlihat kemudian adalah sebuah potret yang berubah dari wajah-wajah Jawa dan pribumi lainnya. Kalaulah disimak lebih jauh lagi, sikap politik etis itu mempunyai sifat yang ganda, diantaranya: (1) ingin meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi; dan (2) berangsur-angsur ingin menumbuhkan otonomi dan desentralisasi politik di Hindia Timur Belanda. Dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda amat menyadari bahwa dua tujuan ini tidak dipisahkan, dan bahwa tujuan yang pertama hanya bisa diwujudkan apabila pemerintahan lokal benar-benar mau bertanggung jawab terhadap penduduk pribumi. Oleh Karena itu, walaupun masalah kesejahteraan yang lebih penting, namun langkah pertama yang diambil oleh pemerintah adalah masalah desentralisasi. Adapun yang menjadi alasannya ialah bahwa: kekuasaan pemerintahan harus dialihkan (1) dari Negeri Belanda ke Hindia, (2) dari Batavia ke daerah-daerah lain, dan (3) dari bangsa Eropa ke penduduk pribumi. Politik kolonial kali ini berbelok ke arah menumbuhkan otonomi pemerintahan, tetapi Belanda tidak bermaksud memberikan kemerdekaan politik kepada Hindia.

Namun dalam kenyataannya, peralihan kekuasaan dari Negeri Belanda ke Hindia tidak pernah dapat dilaksanakan. Mereka hanya "memindahkan" tradisi dan ideologi mereka di Barat untuk bisa hidup di tanah-tanah yang tadinya dikuasai oleh orang-orang Timur. Pemerintah Belanda mengadakan desentralisasi dan ekspansi birokrasi kolonial ke dalam lapangan-lapangan baru, yaitu menciptakan tuntutan sejumlah besar orang Jawa terpelajar untuk mengabdikan diri di dalam tubuh pemerintahan. Ayahanda S.M. Kartosoewirjo adalah salah seorang dari ratusan ribu kaum birokrat kolonial yang menghirup suasana ini, menghirup harapan-harapan baru yang tumbuh di tanah ini. Dengan harapan bahwa Pemerintah kolonial dapat mengisi jabatan itu bekerjasama dengan para pembesar pribumi dan bawahan mereka yang masih bekerja, alasan mereka adalah karena hanya merekalah orang-orang di Jawa yang benar-benar bisa menjalankan pekerjaan birokrasi. Kaum tani yang berwawasan animisme pada umumnya tidak terdidik secara teknis, demikian juga secara psikologis tidak siap untuk pekerjaan semacam itu. Pedagang dan petani yang berwawasan Islam agaknya enggan memangku jabatan demi "sesuatu" dengan pemerintahan asing dan sekuler. Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa perkembangan masyarakat Indonesia banyak dilihat dari mula kedatangan Islam di Indonesia. C. Snouck Hurgronje, salah seorang sarjana Politis Etis yang paling berpengaruh, menyimpulkan bahwa pem-Barat-an Hindia Timur Belanda hanya bisa dilakukan dengan dukungan bangsawan Jawa oleh karena kecanggihan budaya mereka, hubungan mereka dengan pengaruh Barat, dan kerenggangan sikap tradisional mereka terhadap Islam. Maka yang terjadi kemudian adalah timbulnya arogansi di kalangan kaum terpelajar Indonesia saat itu yang telah mengikuti pendidikannya di luar negeri. Pengaruh budaya Barat teradopsi dalam alam pikiran mereka sehingga tidak ada lagi dalam otak mereka untuk memperjuangkan Islam.

Kendatipun Politik Etis secara resmi dimulai tahun 1901, namun politik tersebut masih belum sepenuhnya bisa mengganti liberalisme laissez-faire dengan campur tangan negara di dalam masalah-masalah ekonomi dan suatu program legislasi kesejahteraan yang ambisius. Swasta, yang terwakili oleh kalangan pedagang dan usahawan pribumi Islam, adalah bagian dari gerakan laissez-faire yang mulai menggeliat di jantung Nusantara: Jawa. Fungsi kelas pedagang Islam ini adalah untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial dan politik yang langgeng di negeri jajahan sehingga bisa mengimbangi efek-efek disintegrasi dari pengaruh Barat terhadap Indonesia. Kemakmuran haruslah menggantikan eksploitasi, dan pembaharuan haruslah menggantikan regimentasi yang merupakan kata kunci penjajahan Belanda abad keduapuluh. Karena dengan menjalankan politik eksploitasinya penjajah Belanda telah menguras habis kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, sehingga bukan hanya ekonomi yang dimatikan sampai kepada politik pun dihapuskan. Maka, Jawa adalah wilayah pertumbuhan ekonomi yang sangat subur, sekaligus juga tanah yang membesarkan banyak pembangkang dan penerobos zaman yang brilian dan para penentang kemapanan serta arogansi kekuasaan.

Politik Etis juga merupakan suatu reformasi politik dalam rangka mengukuhkan status-quo dengan jalan mengelola perubahan dalam suatu siklus konjungtur yang teratur dan sedapat mungkin diatur. Secara administratif, Zaman Etis membawa langkah-langkah otonomi dari negara induk, penyerahan tanggung jawab sebagian dari pemerintahan pusat di Batavia kepada pejabat-pejabat daerah, dari korps administratif pribumi dan dari penjagaan yang ketat oleh pejabat Belanda. Reformasi politik difokuskan pada pembentukan dewan-dewan perwakilan untuk penduduk Jawa. Reformasi politik ini, sebagaimana reformasi politik Indonesia di bawah Habibie sekarang ini, hanyalah semata-mata membuat sebuah perubahan bagi mapannya sebuah situasi yang kembali statis. Ini termasuk dewan-dewan walikota dengan keanggotaan terbanyak pada orang-orang Eropa, Dewan-dewan Propinsi dan, yang terpenting dari semuanya, Dewan Kabupaten di wilayah-wilayah pedesaan, yang direncanakan sebagai pengontrol yang kuasi-demokratik terhadap otoritarianisme tradisional kelas yang memerintah, para priyayi. Kartosoewirjo sesungguhnya adalah seorang priyayi, namun karena pengaruh Islam, ia lebih merasakan dirinya sebagai seorang rakyat biasa.

Dan tidaklah mengherankan bahwa respons organisatoris yang pertama terhadap Politik Etis itu terjadi di kalangan para anggota kelas priyayi, di mana mereka merasa telah diuntungkan dengan diadakannya pendidikan Barat. Organisasi Budi Utomo yang dibentuk sebagai suatu persekutuan kebudayaan pada tahun 1908, memperlihatkan usahanya dengan menggelar sebuah program pengembangan diri sendiri --organisasi Budi Oetomo banyak merangkul pengikutnya yang berpendidikan Barat, orang-orang Indonesia profesional-- yang didasarkan atas gabungan antara nilai-nilai Barat dan nilai-nilai Jawa. Organisasi ini menghargai orang berdasarkan derajat keterpengaruhan sistem Barat dan darah priyayi Jawa. Di sini bisa terlihat bahwa mereka berusaha untuk mempertahankan harapan-harapan tinggi kaum pembaharu asosiasionis. Beruntung Kartosoewirjo tidak pernah masuk organisasi "sesat" ini.

Begitupun partai politik pertama Indische Partij (Partai Hindia) dari Douwes Dekker, yang secara eksplisit berdasarkan prinsip asosiasi dan dipimpin oleh orang-orang Indo-Eropa dan orang-orang Indonesia, namun masih menghitung orang berdasarkan latar-belakang derajat pendidikannya. Maka, hanya mereka yang berpendidikan saja yang "dianggap orang" oleh tokoh-tokoh the founding father kita ini. Namun, organisasi ini dengan intelektualitasnya yang tinggi menggaruk langit itu adalah kelompok orang-orang yang paling banyak menuntut. Tuntutan-tuntutannya itulah yang telah memberi banyak pengaruh bagi kemajuan bangsa, meski dengan jalan yang penuh liku dan curam sehingga banyak biaya dan kurban yang hilang. Dengan tuntutan-tuntutan otonominya demi kebaikan semua kelompok-kelompok ras yang berdomisili tetap di tanah jajahan tersebut, maka dibentuklah dewan penasehat yang dinamakan Volksraad.

Semua kalangan, tak terkecuali Islam maupun sekuler, menghabiskan banyak energinya untuk "rumah rakyat" yang diciptakan sebagai arena bermain baru bagi pribumi yang mulai bisa berpikir ini. Yang sangat pesat dalam gerakan politik Indonesia, hanya partai Sarekat Islam (SI), yang mana organisasi ini tidak berjalan di atas jalan asosiasionis. Partai Sarekat Islam ini lahir di perkotaan sebagaimana Budi Oetomo dan Indische Partij sama-sama berasal dari kota, begitu juga latar belakang sosial dan pendidikan pemimpin-pemimpinnya yang utama, seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim; kedua-duanya dididik dalam sekolah-sekolah Barat dan masing-masing adalah elite Indonesia tradisional di Jawa dan Sumatra. Yang sangat menarik dari organisasi ini adalah rekrutmen anggotanya, di mana tidak terbatas kepada anggota-anggotanya yang mendapat pendidikan Barat saja sebagaimana yang dilakukan oleh Organisasi Budi Oetomo. Maka tidak heran partai ini mendapatkan pengikut-pengikutnya dari semua kelas, baik di kota maupun di desa. Bahkan para pimpinannya mengambil inspirasi dari sumber-sumber yang berbeda-beda termasuk sumber Islam. Sebagai alasan lain, bahwa daya tarik yang ditimbulkan oleh organisasi Sarekat Islam ini lebih jauh jangkauannya daripada sekedar mencapai sekelompok penduduk kota yang berorientasi Barat. Karena partai Sarekat Islam memusatkan perhatiannya secara eksklusif bagi orang-orang Indonesia, para pedagang Muslim, para pekerja di kota-kota, para kiai dan ulama, dan bahkan beberapa priyayi. Kartosoewirjo pun terlibat di dalam partai ini.

Sarekat Islam menempati suatu tempat yang unik namun kompleks, baik di dalam sejarah nasionalisme Indonesia maupun sejarah Islam Indonesia. Sejarah Indonesia masa lalu yang penuh dengan dinamika telah mengilhami para elit politik SI untuk membuat perencanaan yang lebih representatif terhadap perkembangan politik Indonesia yang sedang tumbuh. Jawa adalah tempat pertama di mana organisasi diperkenalkan sebagai wadah modern bagi misi dan idealisme bergerak. Maka organisasi pertama, SI, secara ideologis, dia mendahului suatu nasionalisme yang programatik sebagaimana kemudian diungkapkan dalam istilah kebangsaan yang merdeka. Secara religius, dia juga mendahului formulasi program pembaharuan Islam sebagaimana kemudian secara khusus diungkapkan di dalam nilai-nilai sosial dan politik Islam. Namun protes-protesnya yang keras melawan status quo kolonial, keluhan-keluhannya yang lantang di bidang ekonomi dan sosial, dan tuntutan-tuntutannya yang tidak sabar lagi bagi otonomi yang lebih besar, menggabungkan aspirasi-aspirasi nasionalis dan Islam, betapa pun tidak jelasnya diterangkan, ke dalam suatu program politik yang menjadi semakin militan dan khas Indonesia.

Akan tetapi radikalisme program ini bukanlah pantulan ideologis para pemimpinnya yang oleh kebanyakan pengikutnya, terutama sebagian besar orang-orang desa, dianggap terjelma di dalam Sarekat Islam. Para pengikut partai Islam ini, terutama di desa, berhimpun di sekeliling panjinya bukan karena perjuangannya untuk otonomi atau pembaharuan sosial dan ekonomi, akan tetapi karena dia tampak mengekspresikan kegelisahan dan keinginan berontak kaum tani yang selama ini tertahan melawan perubahan jaman. Para petani Jawa hanya membutuhkan pemimpin sebagai ujung, sedangkan mereka sendiri adalah batang dan tiang penegak. Sarekat Islam yang berdiri jauh lebih awal ketimbang Boedi Oetomo adalah pendingin kegelisahan dan sekaligus penghangat darah untuk memberontak. Dengan membuat aksi seperti itu, Sarekat Islam berada dalam kerangka konservatisme Islam yang selama berpuluh tahun memberikan inspirasi kepada keresahan di desa. Ini berarti bahwa di tingkat desa, "keanggotaan" partai tersebut tidak dengan sendirinya menjadi indikasi tentang sesuatu yang baru—misalnya sebagai kekuatan organisatoris yang real—akan tetapi lebih sebagai penegasan kembali tentang sesuatu yang tradisional. Ketidakpuasan berpusat di sekeliling pujaan atau pahlawan jaman lalu (laudatores temporis acti) yaitu para kiai dan para ulama yang bertempur melawan pemerintahan "kafir" dan terutama melawan para pegawai-priyayi Indonesia dari pemerintah itu, yang di mata kaum tani adalah wakil par excellence dari suatu perubahan sosial yang tidak diingini.

Dengan demikian Sarekat Islam membawa sebuah perubahan kuantitatif, bukannya kualitatif di dalam hakekat Islam di desa di Jawa. Untuk beberapa tahun, dia merangkaikan insiden-insiden lokal karena ketidakpuasan di bawah pimpinan orang-orang Islam ke dalam suatu fenomena nasional di bawah pimpinan orang-orang kota. Akan tetapi hal ini dibuatnya tanpa mengarahkan baik kepercayaan abangan atau keyakinan ortodoks yang militan ke jalan-jalan yang positif dan modern. Oleh karena itu, Sarekat Islam lebih banyak mempunyai makna sosial daripada ideologi. Dengan memanfaatkan kontrol administratif Belanda yang tidak terlalu ketat dan prestise priyayi yang semakin melemah, para pemimpin Sarekat Islam telah menerobos desa-desa di Jawa yang terpencil dan membuatnya menjadi juru bicara malaise sosial yang lantang dari penduduk tani Jawa dan menghasutnya melewati para pemimpin agama yang tradisional, untuk memberontak melawan kekuasaan yang sedang berlangsung, walaupun pemberontakan tersebut sifatnya abortif dan bunuh diri.

Begitu Sarekat Islam muncul sebagai simbol keberanian dan vatalisme serta menjadi pelepas ketegangan-ketegangan yang berakumulasi sepanjang satu dasawarsa, yang lahir dalam bentuk ledakan pergolakan-pergolakan di desa-desa dan pemogokan di kalangan proletar di kota, perpecahan di dalam dirinya sendiri dan tindakan tegas pemerintah kolonial — sebagian besar dalam bentuk tindakan-tindakan represif dan memperkuat kekuasaan kaum priyayi—bergabung dan meruntuhkan Sarekat Islam dalam tempo singkat pada awal tahun 1920. Para pemimpin Islam akhirnya memutuskan aliansinya dengan komunisme pada tahun 1924 dan sejak itu beralih menjadi propaganda pan-Islam. Sisa-sisa keresahan di desa yang berkobar-kobar diperbesar menjadi suatu pemberontakan terakhir dan besar-besaran di Jawa Barat di bawah hasutan orang-orang komunis pada akhir tahun 1926 - disusul juga oleh pemberontakan yang serupa di Pantai Barat Sumatra pada permulaan tahun berikutnya—yang tanpa kesulitan sedikit pun dipadamkan oleh pemerintah kolonial dengan kekerasan.

Dengan padamnya pemberontakan-pemberontakan ini, maka panggung jaman pertama yang penuh pergolakan berakhir dan bersamanya massa aksi politik yang berbasiskan dukungan para petani berakhir pula, untuk memberikan jalan kepada perkembangan baru di dalam nasionalisme Indonesia dan Islam Indonesia. Karena kedua-duanya menjadi lebih jelas mengkristal di dalam kelompok-kelompok ideologis dan organisatoris, maka kerangka persatuan dan perbedaan di dalam masyarakat Indonesia diberikan batasan-batasan yang jelas. Di satu pihak, tampil kekuatan-kekuatan yang berusaha menuju realisasi peradaban Islam yang modern, sambil merangkul dan pada saat yang sama melampaui pusat-pusat santri abad-yang lalu. Di pihak lain, nasionalisme yang berorientasi Barat dan berpusat di kota-kota tampil ke depan, sebagian sekurang-kurangnya berakar di sekitar lingkungan para priyayi yang ditolaknya dan di saat yang sama digantinya. Memang benar, bahwa golongan Muslim dan kaum nasionalis sama-sama menolak pemerintahan kolonial. Akan tetapi oposisi bersama terhadap pemerintahan Belanda itu jauh daripada berhasil menempa aliansi yang bertahan lama, namun hanya sekedar mengaburkan jurang yang semakin melebar antara nasionalisme 'sekuler' dan lslam Indonesia yang sebagian besar tujuan akhirnya tidak dapat bertemu satu sama lain. Adalah penting bahwa Sarekat Islam, yang merupakan bayangan. awal dari dan sebagian mengandung benih nasionalisme dan Islam modern, mendapatkan dirinya semakin terpenjara antara kedua pergerakan itu, dan kemudian ditakdirkan bertahan sebagai suatu kekuatan militan yang berada di tepi-tepi selama bertahun-tahun berikutnya.

Sebagaimana disebutkan oleh Benda, aliran-aliran ideologis politis yang mempengaruhi Indonesia di awal abad keduapuluh berasal mula di luar negeri maka renesans Islam Indonesia pun bermula dari perkembangan-perkembangan Islam di luar negeri. Seperti Muslimin Cina, Jepang, Turki, Timur Tengah, dan India berada di dalam genggaman reaksi yang kurang lebih keras terhadap pengaruh Barat. Ragi politik dan agama segera meluas ke dunia Muslim lainnya. Kemudian Islam menjadi salah satu kekuatan dalam peta kekuatan politik dalam sejarah. Pemberontakan Turki Muda terhadap kekaisaran Ottoman tahun 1908 disusul oleh kejatuhan Sultan dan Khalifah satu dasawarsa kemudian. Kekalahan Turki dalam Perang Dunia pertama menyebabkan perluasan. dan konsolidasi kekuasaan Perancis dan Inggris di wilayah-wilayah seperti Mesir, Palestina, Syria, dan Lebanon. Kemenangan kaum Wahabi di Mekkah pada pertengahan tahun 1920-an menandakan juga suatu perubahan penting lainnya di pusat Islam itu sendiri. Maka perang-perang yang kemudian dibawa oleh Belanda dan penjajah lainnya ke Indonesia adalah suatu "war without mercy" yang paling keji dan biadab. Semua ini untuk menghancurkan Islam dan merupakan kelanjutan dari Perang Salib di dunai Barat terhadap Islam.

Perkembangan-perkembangan politik ini pun paralel dengan kebangkitan reformisme Islam, yang dilahirkan dalam pertukaran abad ini di Timur Tengah dan India, dan Wahabisme yang puritan di Arab. Dibukanya Terusan Suez tahun 1869 memungkinkan peningkatan hubungan dan semakin dekatnya hubungan antara Indonesia dan Timur Tengah. Dari Mekkah dan Universitas Al-Azhar Kairo—dalam ukuran yang tidak terlalu besar dari pusat-pusat Islam di India seperti Lahore, Qadian, dan Perguruan Tinggi Islam di Aligarh.

Ketiga, kaum reformis Indonesia berusaha untuk membendung gelombang Westernisasi dengan mengidentifikasikan Islam dengan keterpisahan yang berpusatkan Indonesia, bertentangan dengan penyerahan bulat-bulat kepada nilai-nilai dan norma-norma Barat —baik yang Kristen maupun yang sekuler. Meskipun pendidikan Barat terbatas dalam jangkauan, dan terpisah dari kebijakssnaan-kebijaksanaan asosiasionis di pihak para penguasa Barat, kaum reformis melihat kaum intelektual yang berpendidikan Barat, apa pun orientasi politiknya terhadap pemerintahan Belanda, sebagai musuh-musuh Islam yang paling mengkhawatirkan. Lagi-lagi mereka menganut pendapat yang sama dalam kecurigaan yang mendalam ini bersama kaum ortodoks. Akan tetapi berbeda dengan kaum ulama, mereka berusaha melawan ideologi Westernisasi dengan mempergunakan senjata organisasi Barat itu sendiri. Jong Islamieten Bond (Liga Pemuda Islam) yang didirikan Haji Agus Salim di ibukota Batavia pada akhir tahun 1925, menjadi suatu organisasi yang secara politik amat penting dalam serangan balasan kaum reformis terhadap alienasi di kalangan mahasiswa yang terdidik secara Belanda. Dia bertumbuh menjadi pusat latihan bagi kepemimpinan Islam yang berbeda dari intelektual Indonesia 'sekuler' yang berorientasi ke Barat.

Kedatangan perangkat-perang teknologi, pendidikan dan ideologi Barat telah menyebabkan Islam dan non-Islam masing-masing terbelah dua; yang satu reformis dan lainnya ortodoks. Kemudian di Jawa juga terjadi suatu keadaan di mana reformisme Indonesia terpaksa berbenturan dengan status quo kolonial itu sendiri. Ini adalah suatu konsekuensi yang hampir tidak terelakkan bukan saja dari kesadaran Islam yang mendalam yang timbul dari aktivitas-aktivitas yang beragam-ragam itu di kalangan orang-orang kota dan di kalangan orang-orang desa yang lebih makmur yang berada dalam wilayah pengaruhnya, akan tetapi juga dari kebijaksanaan Belanda yang mendukung lembaga-lembaga adat —sebagaimana akan dilihat dalam bab berikut— ke mana pemerintahan kolonial berpaling di akhir tahun 1920-an dan selanjutnya. Tampaknya segala hal mungkin terjadi di "Pulau Jahiliyah" ini.

Di Jawa perbedaan gaya hidup Barat dan Islam, juga antara Islam modern Islam ortodoks, sudah mulai memperlihatkan dampak disintegratifnya. Kebangkitan kaum reformisme Islam, dengan semangat pertentangannya yang sekaligus diarahkan kepada Islam ortodoks, adat, orang-orang Indonesia bergaya Barat, membangkitkan dendam dan permusuhan di kalangan Islam Indonesia dan dalam masyarakat Indonesia pada umumnya. Kaum ortodoks menggalang kekuatannya melawan kaum reformisme, dan untuk beberapa tahun bahkan mengundang dukungan musuh-musuh tradisionalnya, para kepala adat dan elite priyayi - dan bahkan pemerintah kolonial itu sendiri—untuk melawan pendatang baru yang terlalu bersemangat tersebut. Sama halnya, kaum reformis mengalami konflik yang semakin meningkat dengan kaum elite yang dididik secara Barat; pada mulanya berpusat pada ketidaksetujuannya terhadap jalanjalan organisasi --yang bersifat politis atau religius sosial-- yang paling sesuai untuk meningkatkan penemuan diri (self realization) Indonesia itu sendiri, akan tetapi tidak lama berselang bergeser kepada perpecahan yang semakin mendalam tentang tujuan perkembangan sosial Indonesia itu sendiri. Tambahan pula kebijaksanaan kolonial Belanda yang memberikan reaksinya terhadap ketegangan-ketegangan yang semakin meningkat yang diciptakan oleh penyebaran reformisme, maupun terhadap kekhawatiran yang baru terhadap perkembangan Islam di luar negeri, untuk beberapa waktu cenderung untuk semakin mempertajam perpecahan di dalam kalangan Islam itu sendiri. Namun pada saat yang sama setting kolonial sendiri cenderung untuk mengaburkan perpecahan-perpecahan tertentu yang memisahkan orang-orang Islam dari nasionalis-nasionalis 'sekuler' sampai akhir pemerintahan Belanda. Berhadapan dengan rintangan-rintangan inilah, bangkitnya reformisme Islam sebagai suatu gerakan organisatoris yang terkuat di tanah jajahan Indonesia adalah suatu fenomena yang patut dicatat.

Jawa, sejak dulu hingga sekarang, adalah pusat bagi bentrokan ideologis: sekuler dan Islam; lebih dinamis dari tempat lain di manapun di dunia ini. Bangkitnya nasionalisme 'sekuler' tidak saja mempengaruhi Sarekat Islam; dia membangkitkan masalah yang serius bagi segenap gerakan Islam di Jawa. Dihadapkan dengan tantangan yang kuat ini, kaum reformis dan ortodoks dipaksa merapatkan barisannya untuk bertahan. Yang lebih penting adalah, terkesan oleh kemunduran Sarekat Islam secara spektakuler dan takut akan kekejian pemerintah maka Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mengambil jalan yang secara sadar non-politis, dan meninggalkan aksi-aksi politik Islam kepada Sarekat Islam yang semakin lumpuh dan kepada sekelompok kecil orang-orang muda yang terorganisasikan dalam Jong Islamieten Bond. Tidaklah terhindarkan bahwa pemisahan secara sadar antara aliran ortodoks yang utama dan organisasi-organisasi reformis Islam dari politik — kelihatannya sesuai dengan diktum Snouck Hurgronje — akan menciptakan jurang antara nasionalisme dan Islam, antara kebudayaan Indonesia yang berorientasi ke Barat dan kebudayaan santri.

Jawa adalah juga tempat munculnya beragam polah para pemimpin dan para pendukung atau pengikutnya. Keseganan pemimpin-pemimpin Islam untuk melibatkan organisasi-organisasinya secara terbuka di dalam gerakan nasionalis Indonesia, dan yang lebih buruk lagi, kesediaannya secara malu-malu untuk menerima sedikit bantuan dari pemerintah kolonial, bisalah dimengerti bilamana ditafsirkan sebagai tindakan-tindakan pengkhianatan baik oleh kaum nasional 'sekuler' dan oleh juru bicara Sarekat. Akan tetapi, cukup paradoks, perpecahan antara agama dan politik dalam hal-hal tertentu lebih artifisial daripada real - dan karena itu untuk sebagian sifatnya lokal dan sementara daripada universal dan bertahan lama - sedangkan dalam hal-hal tertentu dia berakar di dalam alasan-alasan yang lebih fundamental yang menghalangi perkembangan kekuatan-kekuatan politik Islam yang langgeng untuk dasawarsa-dasawarsa mendatang. Maka secara politik Jawa sangat penting artinya dibandingkan secara ekonomi.

Di luar Jawa pembagian antara politik dan tidak begitu terlihat seperti dalam bidang ekonomi. Terutama di Sumatra, reformisme Islam hampir sejak semula terlibat dalam politik, dan beberapa kali malah menjadi gerakan-gerakan radikal keras, meskipun hal itu menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemimpin-pemimpin pusat di Jawa. Hal ini bukanlah karena kenyataan bahwa reformisme Sumatra itu ada dalam dirinya (sui generis) tapi lebih disebabkan oleh lingkungan sosial tempat dia bergerak. Di Sumatra, terutama di daerah Minangkabau di pantai barat pulau tersebut, telah bangkit sebuah kelas menengah baru yang hampir secara eksklusif berasal dari diperkenalkannya tanaman-tanaman ekspor —terutama karet—di daerah tersebut. Sementara di Jawa hal ini tidak terlihat. Daya respon orang-orang Sumatera lebih tinggi dibandingkan orang-orang di Jawa. Kalau sekiranya di Jawa ada 'kelas menengah' maka itu adalah terutama fenomena sosial, dan bukannya ekonomi, di Sumatra dia berakar di dalam perubahan ekonomi. Bilamana di Jawa kaum inteligensia yang memperoleh pendidikan Barat lebih berkuasa daripada masyarakat dagang yang berorientasi kepada Islam, maka di Sumatra yang terjadi adalah sebaliknya. Dengan demikian arti penting reformisme Sumatra secara politis sebagian besar adalah akibat dari ketiadaan elite politik di pulau tersebut yang memperoleh pendidikan Barat dan berorientasi kepada Barat. Memang benar orang-orang Sumatra, mengambil manfaat dari sekolah Belanda sama besarnya, kalau relatif tidak lebih besar, dengan orangorang Jawa dan orang Sunda. Akan tetapi karena pendidikan tinggi, maupun lowongan menjadi pegawai pemerintah lebih bisa diperoleh di Jawa, maka orang-orang Sumatra yang telah memperoleh pendidikan Barat bukannya kembali ke daerahnya akan tetapi menetap di Jawa, di mana mereka memainkan peranan yang penting dalam gerakan nasionalisme 'sekuler' yang berpusat di Jawa. Maka, Jawa awal abad ke-20 adalah wilayah yang sangat heterogen, tapi juga sangat berwarna-warni, penuh dengan spektrum keanehan dan keganjilan.

Di Jawa terlihat banyak ketidakadilan dan menciptakan banyak kubu-kubu yang berbeda: yang mendapatkan fasilitas dan yang dianaktirikan oleh penguasa. Kaum elite Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat bisa berbuat lebih banyak karena akomodasi yang disediakan oleh pemerintah kolonial terhadap kaum pelajar berpendidikan Barat. Di Jawa juga gaya hidup Jahiliyah pertama dimulai di Nusantara ini. Berbeda dengan kepemimpinan agama, yang mempunyai kubu-kubunya di pusat-pusat kediaman orang-orang Indonesia, kebanyakan pemimpin-pemimpin nasionalis berkelompok di seputar kota-kota bergaya Barat, terutama di ibukota Batavia, tempat kediaman pemerintahan kolonial dan Volksraad, yang menjadi titik tumpu politik nasional. Gaya orang-orang beragama menjadi ejekan dan gaya Barat menjadi pujaan. Orang pribumi sekuler mempunyai kemampuan mengungkapkan dirinya secara baik bukan saja di dalam warisan tradisi politik liberalisme dan sosialisme Barat, akan tetapi juga di dalam permainan politik parlementer di dalam lembaga-lembaga perwakilan di pusat dan di propinsi, kaum nasionalis 'sekuler' dengan demikian memberi dampak semacam keahlian yang bagi kebanyakan pemimpin Islam.

Jawa adalah tempat di mana pertimbangan pendidikan telah menghilangkan pertimbangan agama untuk loyalitas kepada pemimpin. Bilamana ini benar bagi para pemimpinnya maka ini pun sama benarnya bagi anggota-anggota eselon kedua para pengikutnya masing-masing. Karena pendidikan gaya Barat merupakan prasyarat bagi pegawai negeri dan bagi pekerjaan-pekerjaan di perusahaan-perusahaan Barat, beberapa orang Indonesia yang mengambil manfaat dari pendidikan Barat mulai berkenalan dengan metode-metode administrasi Barat dan, sebagian kecil, metode-metode kewiraswastaan Barat, dari mana kebanyakan tamatan sekolah-sekolah Islam ipso facto tersingkirkan.
Di Jawa pula, oleh karena pengaruh Barat yang demikian hebat, agama menjadi sesuatu yang tidak rasional lagi di tengah-tengah masyarakatnya. Dibandingkan dengan tujuan-tujuan politik Islam, nasionalisme Indonesia menawarkan kritik yang masuk akal terhadap kolonialisme dan sebuah program bagi negara Indonesia yang sekuler, yang berdasarkan lembaga-lembaga perwakilan, yang berdedikasi kepada prinsip-prinsip nasionalisme dan demokrasi maupun tugas-tugas perencanaan ekonomi dan sosial —kalau bukan sosialis — atau singkatnya reproduksi sistem politik Barat di bawah naungan paham Barat yang secara paradoks anti Barat (anti-Westernism) yang begitu khas bagi kebanyakan negara-negara bukan Barat. Paradoks ini hanya terdapat di Jawa, tidak di Aceh atau wilayah lainnya. Maka kondisi yang demikian inilah yang menggambarkan betapa jahiliyahnya penduduk Jawa di awal abad ke-20 ini.

Di Jawa awal abad ke-20 inilah terlihat arogansi orang-orang yang mengaku intelektual; mereka memandang rendah terhadap agama. Meskipun ada beberapa orang Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat yang berhasil membangun jembatan antara kebudayaan Barat dengan reformisme Islam, mayoritas kaum nasionalis yang secara politis sadar, menganut sikap angkuh dan menghina terhadap Islam, suatu sikap yang jelas-jelas diambil dari Barat, dan sangat serupa dengan sikap-sikap yang ada di kalangan-kalangan orang Barat. Negara sekuler dan modern yang diidamkannya hanya sedikit saja gunanya bagi para santri dan ulama demikian pula bagi adat dan priyayi. Kedua-duanya, di dalam pandangannya mewakili elemen-elemen yang secara intrinsik konservatif yang telah ditakdirkan untuk hancur di dalam evolusi politik negaranya. Bahkan mereka mulai mengejek dan menuduh agama (Islam) dengan macam-macam istilah yang tidak masuk akal. Beberapa pemimpinnya malah melihat di dalam Islam sebuah unsur perusak historik persatuan Indonesia yang lebih besar di masa lalu, sambil memuja kebesaran kerajaan pra-Islam seperti Sriwijaya dan Majapahit, sebagai model-model ideal tentang Indonesia Raya menurut aspirasi-aspirasi politiknya.

Padahal Islamlah yang telah menyatukan semua hati mereka pada awal dan akhirnya. Maka di pulau Jawa mulai terjadi perang logika tingkat tinggi. Kaum Muslimin melihat kaum intelegensia berpendidikan Barat sebagai produk Barat tanpa Allah serta materialistik, yang secara licik meremehkan justru dasar identitas Indonesia, yang menurut anggapannya serupa dengan Islam. Khususnya, juru bicara kaum ortodoks melawan ide nasionalisme dengan kosmopolitanisme Islam sebagai suatu budaya dunia. Dan bahkan kaum reformis, yang lebih bersimpati kepada ide negara nasional, mengatakan bahwa negara Indonesia merdeka, sejauh dia menjadi negara sekuler, akan menjadi musuh besar Islam sebagaimana kekuasaan penjajahan orang-orang 'kafir'. Perang logika tingkat tinggi ini kemudian diturunkan ke tingkat yang lebih rendah. Mereka mulai membenci kenyataan bahwa inspirasi ideologis nasionalisme lndonesia datang dari sumber-sumber asing, sedangkan Nabi sendiri, di dalam pesannya, mempersiapkan norma-norma etis yang mengandung dan melebihi semua spekulasi politis tandus milik pemikir-pemikir Barat.

Kaum intelektual dan semua orang yang bukan intelektual serta berpikiran waras di Jawa adalah orang-orang yang "sabar" dan perlahan-lahan. Namun ketika suasana ini sudah demikian mengendap di dasar alam bawah sadar, maka pemberontakan terhadap situasi statis mulai muncul. Awal pemberontakan adalah konflik. Kaum nasionalis sekuler dan nasionalis Muslim berada dalam suasana konflik yang semakin meningkat di dalam masa pemerintahan kolonial, dalam hal kaum nasionalis ini terjadi karena mereka semakin tidak sabar terhadap perubahan kekuasaan kolonial yang begitu perlahan-lahan dan menjengkelkan, sedangkan dalam hal kaum Muslim terutama karena arah yang diambil oleh perubahan tersebut. Perbedaan-perbedaan yang menentukan ini tetap membekas dalam sejarah Indonesia selanjutnya, sebuah sejarah, yang karena masalah itu, tetap dalam proses yang tak kunjung mencapai akhir. Semua orang di Indonesia hampir gila menanti kapan berakhirnya semua drama kemanusiaan ini, kapan Negara Islam berkesempatan mengatur semua ketidakteraturan ini.

BAB 2 - Pemikiran Politik Proklamator NII : SM Kartosoewirjo

BAB 2
Masa Kecil SM Kartosoewirjo

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo demikian nama lengkap dari S.M. Kartosoewirjo, yang dilahirkan pada tanggal 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Kota Cepu ini menjadi tempat di mana budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang unik. Untuk memahami dalam konteks yang bagaimana ia lahir dan tumbuh besar, kita perlu melihat bagaimana setting sejarah Indonesia di awal abad ke-20 ini. Mungkin gaya pendekatan sejarah alternatif (alternative hiostory) akan cocok untuk memahami sosok Kartosoewirjo sebenarnya. Pada awal abad ini dimulai suatu perubahan besar di Hindia Belanda (nama Indonesia ketika itu). Pada bulan Januari 1901 Ratu Wilhelmina di depan Parlemen yang anggota-anggotanya ketika itu baru terpilih, mengumumkan sebuah kebijakan program Pemerintah Belanda tentang negeri jajahan yang nantinya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan situasi dan kondisi Indonesia selanjutnya.

Ketika Pemerintah Kerajaan Belanda sangat menyadari betul bahwa di masa lalu sudah banyak perusahaan milik orang-orang Belanda dalam menjalankan roda perekonomiannya telah memperoleh keuntungan materi yang berlimpah ruah dari Hindia Belanda, sementara itu mereka melihat banyak sekali dari penduduk di tanah jajahan Hindia Belanda mengalami dampak eksploitasi ekonomi besar-besaran tersebut berupa kemiskinan di mana-mana. Sejarah ekonomi Indonesia masa kolonial Belanda telah menghasilkan banyak kemelaratan di tengah gemerlapannya kemodernan ekonomi yang dibawa penjajah kafir ini. Maka timbul niat untuk sedikit mengubah kondisi yang ada. Kesadaran ini menjadikan tujuan utama pemerintah jajahan di masa mendatang, adalah bagaimana dari program itu mampu merubah dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Dan memang haruslah mereka fahami bahwa selama ini bangsa Belanda “telah berhutang budi” kepada rakyat Hindia Belanda.

Dengan bernaung di bawah apa yang kemudian dikenal dengan politik etis (Etische Politiek), pemerintah Hindia Belanda mencoba perlahan demi perlahan menjalankan programnya membuka kesempatan bagi anak-anak Indonesia dari golongan atas untuk mengikuti sekolah-sekolah berbahasa Belanda tingkat dasar dan menengah. Maka enlightened elit modern kolonial mulai terbentuk di Indonesia setelah pegawai-pegawai negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda melahirkan generasi pertamanya. Seiring dengan dibukanya kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang lebih maju, maka terjadilah proses transisi masyarakat Indonesia dari tradisional ke modern. Dari Generasi terdidik inilah yang nantinya sebagai tonggak awal kebangkitan bangsa Hindia Belanda dimana kesadaran nasionalisme telah muncul di dalam hati sanubari mereka yang paling dalam.

Begitulah Kartosoewirjo, dia lahir dalam situasi yang sedemikian menguntungkan sehingga —karena kedudukan "istimewa" orang-tuanya— ia termasuk dalam salah seorang anak-anak negeri ini yang berkesempatan mengecap pendidikan modern kolonial Belanda yang sangat maju di zamannya. Maka, Belanda tidak hanya menggunakan kekuatan senjata untuk "menjinakkan" Indonesia. Selama ini tentara marsose sering sekali dipakai sebagai kekuatan represif yang ampuh untuk menentramkan Indonesia.

Politik Etis telah memberikan perhatian yang cukup besar pada pendidikan Barat bagi penduduk Indonesia, dengan dibangunnya sejumlah sarana pendidikan di beberapa tempat. Namun sayangnya kebanyakan dari sekolah-sekolah ini menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya, sedikit sekali dari sekolah-sekolah tersebut yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, kalaupun ada itupun yang prestigious, yang para tamatannya kemudian mendapat pekerjaan orang-orang berdasi (white collar jobs), yang memang banyak dicari, atau meneruskan pelajarannya ke perguruan tinggi di daerah jajahan ataupun di negeri Belanda. Semangat penggalian akan pendidikan Barat oleh kebanyakan pelajar Indonesia ternyata jauh lebih besar dari yang diantisipasi atau diinginkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kebutuhan ini disambut dengan pertumbuhan pesat sekolah-sekolah swasta pada tahun 1920-an dan 1931-an, khususnya di Jawa dan di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Sangat disayangkan sekolah-sekolah swasta ini yang umumnya kecil-kecil, tidak mempunyai perlengkapan dan gedung yang memadai, serta kurikulumnya seringkali tidak sama dengan kurikulum sekolah pemerintah, Atau istilahnya sekolah yang didirikan ini dikenal sebagai "sekolah liar" dan bervariasi yang dibuat dari sistem yang longgar, dimana sekolah ini dikelola oleh Taman Siswa dan Muhammadiyah hingga ke sejumlah sekolah perorangan yang didirikan oleh organisasi-organisasi keagamaan dan partai-partai politik. Namun di Minang berkembang suatu kesadaran historis dan pendidikan yang luar biasa bagi dunia gerakan penyadaran bangsa lewat usaha swasta.

Organisasi Islam modern Muhammadiyah merupakan organisasi paling penting di Indonesia ketika itu. Berdiri di Yogyakarta pada tahun 1912. Didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923) yang berasal dari elite agama kesultanan Yogyakarta. Ahmad Dahlan ini pada dasarnya adalah seorang tokoh aristokrat, namun karena keberpihakannya pada rakyat Muslim menjadikan ia dikenal sebagai tokoh populis. Selain itu, sesuai dengan semangat pada masa itu, ia juga adalah seorang peletak dasar pendidikan Islam modern. Sebagai pendidik, ia memulai karir intelektualnya pada tahun 1890 ketika ia naik haji ke Mekah sekaligus belajar bersama-sama Ahmad Khatib dan yang lain-lain. Haji merupakan simbol pengakuan agamis terhadap seseorang, sedangkan belajar atau berguru pada beberapa syech di sana merupakan simbol pengakuan dunia pendidikan yang relatif sekuler. Usai pengembaraan intelektualnya, ia kembali pulang dengan tekad bulat untuk memperbaharui Islam dan menentang usaha-usaha kristenisasi yang dilakukan oleh kaum misionaris Barat. Tahun 1909 ia masuk ke dalam organisasi Budi Utomo dengan harapan dapat berkhotbah tentang pembaharuan di kalangan anggotanya, namun para pendukungnya yang telah mengenal pemikiran-pemikirannya berusaha mendesak Ahmad Dahlan untuk mendirikan sebuah organisasi sendiri. Akhirnya pada tahun 1912 didirikanlah organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta. Berbeda dengan Budi Utomo, Muhammadiyah di sebagian besar programnya sangat mencurahkan pada usaha-usaha pendidikan serta kesejahteraan sekaligus gencar melakukan kegiatan program dakwah guna melawan usaha-usaha kristenisasi yang mulai menjamur di daerah Jawa, juga memberantas 'ketakhyulan-ketakhyulan' lokal yang memang sudah menjadi kepercayaan dikalangan rakyat.

Dengan semangat pembaharuan pemikiran yang dilaksanakan oleh Organisasi Muhamadiyah ini banyak sekali mengalami hambatan, sehingga pada awal berjalannya, Muhamadiyah berkembang secara lamban. Organisasi ini ditentang atau diabaikan oleh para pejabat, guru-guru Islam gaya lama di desa-desa, hierarki-hierarki keagamaan yang diakui pemerintah, dan oleh komunitas-komunitas orang saleh yang menolak ide-ide Islam Modern. Dalam rangka upaya-upaya pemurniannya, organisasi ini mengecam kebiasaan-kebiasaan yang telah diyakini oleh orang-orang saleh Jawa selama berabad-abad sebagai Islam yang sebenarnya, seperti selamatan, ziarah ke kubur. Dengan demikian, maka kehadiran Muhammadiyah dianggap mengancam kelanggengan tradisi masyarakat sehingga menimbulkan banyak permusuhan dan kebencian di dalam komunitas agama di Jawa.

Bersamaan dengan itu, lingkungan politik berbalik arus menentang radikalisme, tetapi ironisnya keadaan ini malah menempatkan ISDV (Indische Social-Democratische Vereniging) dalam posisi untuk memimpin gerakan politik rakyat. ISDV saat itu berada di tangan Semaun dan seorang pemuda bangsawan Jawa yang bernama Darsono (lahir tahun 1897). Pada awal perjalanannya, dengan jumlah anggotanya hanya 269 orang pada tahun 1920, organisasi ini memang masih sangat kecil dan juga sangat terbatas, tetapi kemudian sebagian besar anggotanya adalah orang Indonesia. Maka organisasi ini menjadi organisasi pribumi yang meraup banyak pengikut. Inilah cikal-bakal organisasi yang menggerogoti Islam secara sangat kejam hingga ke PKI dan gerakan-gerakan kiri lainnya di era reformasi sekarang ini. Pada bulan Mei 1920 organisasi ini mengalami pergantian nama menjadi Perserikatan Komunis di Hindia dan pada tahun 1924 berganti nama lagi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Organisasi inilah yang paling banyak berperang dengan kalangan ideolog Islam, secara fisik maupun psywar. Dengan pasang naiknya paham-paham Barat non-agama, maka PKI dan organisasi-organisasi yang bergerak dengan kesadaran kiri ini kemudian banyak diuntungkan, sementara Islam mulai memasuki pasang surut yang semakin hari semakin "kurang darah".

Untuk melihat kondisi Islam Indonesia pada masa-masa awal sebelum the formative age yang dialami Kartosoewirjo, kita harus melihat Islam yang mulai berubah pada tingkat dunia. Menjelang tahun 1925, di dunia internasional Islam mengalami sebuah perubahan besar. Ketika pada tahun 1924 negara Turki telah menghapus jabatan khalifah, pemimpin agama semua kaum muslim, yang telah dituntut sebagai haknya oleh sultan-sultan Usmani selama sekitar enam dasawarsa. Mesir bermaksud menyelenggarakan suatu konferensi Islam Internasional guna membahas masalah kekhalifahan tersebut. Perpecahan ini tidak hanya memperlihat betap barbariannya para penguasa-penguasa negeri yang dulunya pernah menjadi negeri Islam. Akan tetapi, terjadi kekacauan lagi ketika pada tahun 1924 Ibn Sa'ud merebut Mekah, dan menyebarkan ide-ide pembaharuan Wahabi serta menyatakan bahwa dirinya adalah khalifah. Dia juga menghimbau seluruh kaum muslim supaya menghadiri konferensi-konferensi tersebut, tetapi wakil-wakilnya sebagian besar berasal dari kalangan Islam Modernis, dan ketika itu tokoh Tjokroaminoto sangat menonjol dalam konferensi tersebut. Di Timur Tengah sedang terjadi kemerosotan Islam, maka di Nusantara Islam mengalami titik awal kebangkitan yang baru terlihat seperti seberkas sinar lampu kecil.

Sinar lampu Islam juga terlihat dengan bangkitnya umat Islam melalui pergerakan-pergerakan yang mewarnai gerakan-gerakan lainnya. Muhammadiyah, SI, NU, Al-Irsyad dan lain-lain bermunculan. Namun tak lama kemudian mengalami kekurangan darah semangat kembali. Seiring dengan telah wafatnya Ahmad Dahlan sebagai orang nomor satu di Muhamadiyah, organisasi ini mengalami penyusutan anggota dengan hanya beranggotakan 4.000 orang saja pada tahun 1925, tetapi organisasi ini telah mendirikan lima puluh lima sekolah dengan 4.000 orang murid, dua balai pengobatan di Yogyakarta dan Surabaya, sebuah panti asuhan, dan sebuah rumah miskin. Organisasi Islam Jawa modern ini adalah organisasi yang bisa menyatukan antara orang-orang beriman di Jawa dengan di tempat-tempat lain di Nusantara. Organisasi ini diperkenalkan di Minangkabau oleh Haji Rasul pada tahun 1925 dan mendapatkan sambutan yang luar biasa oleh kalangan agamawan Islam di sana. Sesaat setelah berhubungan dengan dunia Islam yang dinamis di Minangkabau, maka organisasi ini berkembang dengan pesat. Minang adalah sumber darah segar bagi perkembangan organisasi Islam yang dilahirkan dan dibidani di Jawa. Pada tahun 1930, menurut catatan M.C. Ricklefs, jumlah anggota organisasi ini sebanyak 24.000 orang, pada tahun 1935 berjumlah 43.000 orang, dan pada tahun 1938 organisasi ini mengklaim mempunyai anggota yang luar biasa banyaknya, yaitu 250.000 orang. Pada tahun 1938 organisasi ini telah menyebar di semua pulau utama di Indonesia, mengelola 834 mesjid dan langgar, 31 perpustakaan umum dan 1.774 sekolah, serta memiliki 5.516 orang mubalig pria dan 2.114 orang mubalig wanita. Perkembangan yang pesat ini tampaknya tidak diikuti oleh organisasi Islam modern lainnya, karena itu, menuriut Dengel, bisa dikatakan bahwa sejarah Islam Modern di Indonesia sesudah tahun 1925 adalah sejarah Muhammadiyah. Namun, kemerosotan Muhammadiyah setelah tahun-tahun kejayaannya itu dimulai justru di Pulau Jawa, Pulau Penggembosan.

Demikianlah sekilas setting sejarah yang mengitari saat-saat S.M. Kartosoewirjo lahir. Ia lahir dan mengalami masa-masa kecilnya pada saat gerakan-gerakan Islam mengalami pasang naik dan pasang surut secara bersamaan. Maka orang tuanya bukanlah orang yang dikenal fanatik atau anti-Islam; melainkan orang tua yang biasa-biasa saja, yang menyerahkan anaknya pada perputaran zaman. Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri yang bekerja pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan dekat Rembang. Di bawah sistem administrasi pemerintahan Hindia Belanda, profesi pedagang candu memiliki kedudukan istimewa. Karena itu pedagang candu diangkat menjadi pegawai oleh pemerintah kolonial Belanda di bidang distribusi perdagangan candu yang dikontrol oleh pemerintah. Candu, ketika itu, tidak pernah masuk ke dalam persoalan yang dianggap penting oleh organisasi-organisasi Islam. Namun, juga karena ketidakperhatiannya organisasi-organisasi Islam ketika itu, bagi pemerintah Hindia Belanda adalah sesuatu yang sangat penting. Ekonomi Hindia Belanda hampir seperempatnya disokong oleh perdagangan candu ini. Sedemikian pentingnya perdagangan candu di mata penguasa kolonial Belanda, maka jabatan mantri candu pun disamakan dengan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah S.M. Kartosoewirjo mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu. Kedudukan orang tua berpengaruh terhadap pembentukan dan garis sejarah anaknya. Maka Kartosoewirjo pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia-usia remajanya.

Dengan kedudukan istimewa inilah serta makin mapannya "gerakan pencerahan Indonesia", S.M.Kartosoewirjo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh. Gerakan buruh kemudian banyak dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi Karl Marx tentang "ideologi kaum buruh".

Pada masa sekitar tahun 1909, di seluruh Indonesia banyak bermunculan organisasi-organisasi baru di kalangan elite terpelajar, yang sebagian besar didasarkan atas identitas-identitas kesukuan. Sarekat Ambon (1920) dan organisasi-organisasi pendahulunya sejak tahun 1909 bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang Ambon; Jong Java (Pemuda Jawa, 1918) merupakan lembaga para mahasiswa yang pertama; Jong Pasundan (1914) merupakan organisasi semacam Budi Utomo untuk orang Sunda; Sarekat Sumatra (Sumatranen Bond, 1918) merupakan kelompok mahasiswa Sumatera; Jong Minahasa (Pemuda Minahasa, 1918) adalah untuk orang-orang Minahasa; Timorsch Verbond (Persekutuan Orang-orang Timor, 1921) didirikan oleh orang-orang Timor yang keluarga-keluarganya berasal dari Roti dan Savu untuk melindungi kepentingan-kepentingan rakyat Timor; Kaum Betawi (1923) giat berusaha memajukan hak-hak warga Indonesia 'asli' dari Batavia; Pakempalan Politik Katolik Jawa (Persatuan Politik Orang-orang Jawa yang Beragama Katolik, 1925) mengabdi kepada kepentingan-kepentingan kelompok minoritas itu. Organisasi-organisasi tersebut dan masih banyak kelompok lainnya tidak hanya mencerminkan adanya euphoria atau kegairahan baru untuk berorganisasi namun juga mencerminkan masih kuatnya identitas-identitas kesukuan dan kemasyarakatan yang terus berlangsung. Organisasi yang mempunyai konsep tentang suatu identitas untuk seluruh Indonesia masih belum mempunyai pendukung yang berarti. Pembelahan organisasi selain karena masalah kedaerahan, juga masalah ideologi.
Organisasi yang menanamkan ideologi hanya dari kalangan pemikir dan tokoh-tokoh pergerakan Islam dan gerakan kiri. Maka Organisasi yang memperoleh kemajuan adalah organisasi-organisasi Islam dan organisasi sosialis maupun komunis. Islam tidak ketinggalan dalam soal pendidikan, maka tidak ketinggalan juga para buruh dan pegawai yang tergabung dalam serikat-serikat pekerja kiri pun berdiri di Indonesia ketika masa ramai-ramainya pembentukan organisasi ini. Antara tahun 1908 dan 1918 berdiri serikat-serikat bagi para guru di sekolah-sekolah pemerintah, para petugas pabean, para pegawai pegadaian pemerintah, para pegawai monopoli candu pemerintah, para pegawai pekerjaan umum, para pekerja perbendaharaan, para buruh pabrik gula, serta untuk kaum tani dan kaum buruh pada umumnya. Kehadiran pabrik gula ini telah menghasilkan banyak perubahan dalam kehidupan ekonomi petani pedesaan Jawa. Akan tetapi, yang mengambil manfaat dari kehadiran industri gula ini adalah kaum politisi yang menggerakkan buruh untuk kepentingan politik mereka sendiri. Akan tetapi, organisasi serikat buruh pada umumnya lemah karena adanya tenaga kerja yang berlebihan dan tekanan para majikan (pemerintah maupun swasta) yang tidak dilarang secara hukum maupun sentimen untuk memanfaatkan segala alat yang ada guna mematahkan pemogokan-pemogokan.

Pada bulan 1918 gairah politik masa Perang Dunia I mencapai puncaknya ketika revolusi sosial demokrat di Jerman seolah-olah akan juga berpengaruh ke negeri Belanda. Namun ternyata upaya tersebut mengalami kegagalan. Walaupun hasilnya yang pasti belum diketahui di Indonesia, van Limburg Stirum, yang barangkali juga sudah tahu bahwa kerajaan Belanda selamat dan ssemata-mata memanfaatkan kesempatan itu untuk mendukung pembaharuan lebih lanjut, memberikan 'janji-janji November'-nya yang menyetujui pengalihan wewenang selanjutnya kepada Volksraad dan perbaikan-perbaikan sosial lainnya yang tidak terinci. Bagi para aktivis pergerakan tampaknya Volksraad semakin memberi harapan.

Dua aliran yang bertentangan telah muncul sebagai dasar bagi dilakukannya peremajaan secara nasional, dan kini ditambah aliran pemikiran yang ketiga. Aliran kalangan atas yang mencari modernisasi secara Barat (dan setidak-tidaknya mempunyai unsur-unsur anti Islam) paling jelas diwakili oleh Budi Utomo dan aliran Islam Modern diwakili oleh Muhammadiyah, kini ditambah dengan ide-ide sosialis yang radikal. Namun, perkembangan revivalisme Islam paling hebat justru didukung oleh massa petani di pedesaan. Pada tahun 1911 suatu partai politik yang bernama Indische Partij (Partai Hindia) didirikan oleh seorang Indo-Eropa yang radikal bernama E.F.E. Douwes Dekker (Setiabudi, 1879-1850), seorang keluarga jauh E. Douwes Dekker (Multatuli). Partai ini mempermaklumkan suatu nasionalisme 'Hindia' dan menuntut kemerdekaan. Dua orang Jawa yang terkemuka, Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat (kemudian disebut Ki Hajar Dewantara, 1889-1959), bergabung dengan Douwes Dekker. Pemerintah tidak mau mengakui partai ini, dan pada tahun 1913 ketiga pemimpin tersebut diasingkan ke negeri Belanda (Tjipto sampai tahun 1914, Douwes Dekker sampai tahun 1918, dan Suwardi sampai tahun 1919). Organisasi-oraganisasi kaum nasionalis ini seperti organisasi KNPI, AMPI atau HMI sekarang yang hanya bisa berdiskusi dan tak berbuat banyak. Yang sebenarnya berbuat adalah para petani di pedesaan yang habis-habisan berontak dan mengadakan resistensi politik sehebat mungkin bahkan tak pernah ada suatu pemberontakan yang lebih hebat dari pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan petani. Dalam dunia ekonomi yang berubah, kaum tanilah yang paling kena getahnya dari sistem baru yang dibawa Belanda.

Pada tahun 1909 seorang lulusan OSVIA bernama Tirtoadisurjo yang telah meninggalkan dinas pemerintahan dan menjadi wartawan, mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada tahun 1911, dia mendirikan suatu organisasi semacam itu lagi di Buitenzorg (Bogor). Kedua organisasi tersebut dimaksudkan untuk membantu pedagang-pedagang bangsa Indonesia dalam menghadapi saingan orang-orang Cina. Pada tahun 1911 dia mendorong seorang pedagang batik yang berhasil di Surakarta bernama Haji Samanhudi (1868-1956) untuk mendirikan Sarekat Dagang Islam sebagai suatu koperasi pedagang batik anti-Cina. Di daerah Jawa Timur juga didirikan cabang-cabang lainnya, adapun sasaran yang ingin dicapai adalah bagaimana mempungsikan peranan Islam dalam masyarakat desa, disamping itu memberikan pendidikan politik terhadap mereka sehingga bisa berperan aktif dalam setiap perjuangan kemerdekaan.

Di Surabaya HOS Tjokroaminoto (1882-1934) menjadi pimpinan organisasi itu, ia juga seorang lulusan OSVIA yang telah mengundurkan diri dari dinas pemerintahan. HOS Tjokroaminoto adalah seorang tokoh yang memiliki kharisma yang menjadi terkenal karena sikapnya yang memusuhi orang-orang yang memegang kekuasaan, baik yang berkebangsaan Belanda maupun Indonesia, dan dengan cepat menjadi pemimpin yang paling terkemuka dari gerakan rakyat yang pertama itu. Sejak tahun 1912, SI berkembang dengan pesat, dan untuk pertama kalinya tampak adanya asas rakyat walaupun sukar dikendalikan dan hanya berlangsung sebentar. Pada tahun 1919, SI menyatakan mempunyai anggota 2 juta orang, tetapi jumlah yang sesungguhnya mungkin tidak pernah lebih dari setengah juta orang. Tidak seperti Budi Oetomo, SI berkembang dari Jawa ke daerah-daerah luar Jawa, tetapi Jawa tetap menjadi pusat dari kegiatan-kegiatannya. Anggota-anggotanya harus mengangkat sumpah rahasia dan memiliki kartu anggota yang sering kali dianggap sebagai jimat oleh orang-orang desa. Tjokroaminoto kadang-kadang dianggap sebagai Ratu Adil, 'raja yang adil' yang diramalkan oleh tradisi-tadisi Jawa yang bersifat mesianistis, dan yang disebut Eru Cakra (yaitu nama yang sama dengan Cakra-aminata, Tjokroaminoto).

SI menyatakan setia kepada rezim Belanda, tetapi ketika organisasi tersebut berkembang di desa-desa maka meletuslah tindak kekerasan. Rakyat pedesaan tampaknya lebih menganggap SI sebagai alat bela diri dalam melawan struktur kekuasaan lokal yang kelihatannya monolitis, yang tidak sanggup mereka hadapi, daripada sebagai gerakan politik modern. Oleh karena itulah, maka organisasi tersebut menjadi lambang kesetiakawanan kelompok yang dipersatukan dan tampaknya didorong oleh perasaan tidak suka kepada orang-orang Cina, pejabat-pejabat priyayi, mereka yang tidak menjadi anggota SI, dan orang-orang Belanda, kira-kira dengan urutan seperti itu. Di beberapa daerah SI benar-benar menjadi pemerintahan bayangan dan para pejabat priyayi harus menyesuaikan diri. Aksi boikot yang dilakukan terhadap pedagang batik Cina di Surakarta dengan cepat meningkat menjadi aksi saling menghina antara Cina-Indonesia dan tindak kekerasan di seluruh Jawa. Pada tahun 1913-1914 terjadi letupan tindak kekerasan yang sangat hebat di kota-kota dan desa-desa; dalam hal ini cabang-cabang Sarekat Islam lokal memainkan peranan penting. Inilah gerakan nasionalis Islam yang kelahirannya mendahului gerakan Boedi Oetomo pada tahun 1908.

Ketika lahirnya Boedi Oetomo, Gubernur Jenderal van Heutsz menyambut baik Budi Utomo sebagai tanda keberhasilan Politik Etis. Memang itulah yang dikehendakinya: suatu organisasi pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat yang maju. Pejabat-pejabat Belanda lainnya mencurigai Budi Utomo dan menganggapnya sebagai gangguan yang potensial. Akan tetapi, pada bulan Desember 1909 organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah. Adanya sambutan yang hangat dari Batavia menyebabkan banyak orang Indonesia yang merasa tidak puas dengan pemerintah untuk mencurigai Budi Oetomo itu. Sepanjang sejarahnya (organisasi ini secara resmi dibubarkan pada tahun 1935) sebenarnya Budi Utomo sering kali tampak sebagai partai pemerintah yang resmi. Organisasi-organisasi yang lebih aktif dan penting segera berdiri. Beberapa di antaranya bersifat keagamaan, kebudayaan, dan pendidikan, dan beberapa lagi bersifat politik, ada pula yang bersifat keduanya. Organisasi-organisasi itu bergerak di kalangan masyarakat bawah dan untuk pertama kalinya terjalin hubungan antara rakyat desa dan elite-elite baru. Golongan priyayi rendah merupakan lapisan anggota dan pengurus yang paling penting di dalam beberapa gerakan tersebut, tetapi golongan ini merupakan cabang priyayi rendah yang berbeda dari priyayi yang aktif di dalam Budi Oetomo. Kalau anggota-anggota Budi Oetomo sebagian besar mencetak karir mereka dalam dinas pemerintahan, maka mereka yang memimpin gerakan-gerakan yang lebih aktif tersebut hampir semuanya merupakan orang-orang yang telah berhasil menyelesaikan sekolah-sekolah Belanda, namun kemudian mengundurkan diri atau diberhentikan dari pekerjaan-pekerjaan pemerintahan. Muncul pula suatu kepemimpinan agama yang baru ketika Islam Indonesia diterapkan pada periode pembaharuan yang paling penting dalam sejarahnya.

Dalam masyarakat Jawa, kelompok minoritas yang berusaha benar-benar mentaati kewajiban-kewajiban Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka disebut silih berganti wong muslimin (kaum muslim), putihan (golongan putih), atau santri (murid sekolah agama). Ada dua kelompok yang dapat dibedakan dalam golongan masyarakat ini: kaum muslim pedesaan yang mengelompok di sekeliling para guru agama Islam (kyai) dan sekolah-sekolah agama mereka (pesantren, tempat para santri) dan, di lain pihak kelompok-kelompok muslim perkotaan yang sering kali melibatkan diri di bidang perdagangan. Kelompok-kelompok muslim perkotaan ini tinggal di daerah-daerah yang terpisah di kota-kota Jawa yang disebut kauman (tempat orang-orang yang saleh), biasanya di dekat masjid utama. Pada awal abad XX kaum muslim perkotaan ini merasakan bahwa kegiatan-kegiatan dagang mereka semakin terancam oleh saingan orang-orang Cina. Cina adalah kelompok "luar" yang sangat berpengaruh dalam ekonomi yang sangat fluktuatif ketika itu.

Maka pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosoewirjo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) atau Sekolah "kelas dua" untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School). Bagi seorang putra “pribumi” HIS dan ELS merupakan sekolah elite, hanya dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa. Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi "guru" agamanya. Notodihardjo adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah dan pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Notodihardjo ini kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosoewirjo remaja, dalam masa-masa yang bisa kita sebuat sebagai the formative age-nya.

Ketika Kartosoewirjo mulai memasuki pintu gerbang kedewasaan, ia mulai berkenalan dengan organisasi Islam modern yang lebih jelas garis politiknya ketimbang Muhammadiyah yaitu Sarekat Islam. Pada tahun 1912 organisasi SDI merubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI). Ketika itu terjadi percekcokan antara Tirtoadisurjo dan Samanhudi, sehingga Samanhudi yang sebagian besar waktunya tersita untuk urusan-urusan dagang, meminta bantuan Tjokroaminoto untuk memimpin organisasi itu. Asal-usul organisasi yang bersifat Islam dan dagang segera menjadi kabur, dan istilah Islam pada namanya kini sedikit banyak lebih mencerminkan adanya kesadaran umum bahwa anggota-anggotanya yang berkebangsaan Indonesia adalah kaum muslim, sedangkan orang-orang Cina dan Belanda adalah bukan muslim. Tjokroaminoto sendiri tampaknya tidak mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Islam, setidak-tidaknya jika dibandingkan dengan para ulama yang mendirikan gerakan pembaharuan agama yang sebenarnya. Tokoh Tjokroaminoto inilah yang kemudian banyak mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo.

BAB 3 - Pemikiran Politik Proklamator NII : SM Kartosoewirjo

BAB 3
Kartosoewirjo dalam Kancah Gerakan Nasionalisme Indonesia


Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi, NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School). Di sekolah tersebut ia mengikuti tingkat persiapan (Voorbereidende School) selama tiga tahun. Kemudian pada tahun 1926 ia memulai kuliah utama yang sebenarnya, yang hanya khusus membahas persoalan-persoalan medis. Justru pada saat-saat kuliah inti inilah ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya. Dikenal ketika itu daerah Surabaya merupakan kota pergerakan kaum nasionalis Hindia. Untuk melihat bagaimana kiprah dan pemikiran Kartosoewirjo yang dipengaruhi oleh berbagai ideologi ketika itu, maka kita perlu terlebih dahulu memahami konteks sosial-politik kota Surabaya tahun 1920-an.

Di Surabaya sudah banyak bermunculan gerakan kaum nasionalis dengan berbagai organisasi tempat mereka berkumpul dan berdebat tentang cita-cita bagaimana bentuk Indonesia di masa depan. Para intelektual mulai memikirkan tentang sistem negara, ideologi atau haluan politik dan bentuk perjuangan yang kesemuanya mengambil konsep-konsep modern dari Barat. Hanya sedikit yang mengambilnya dari latar belakang sejarah Islam. Maka, tidaklah terlalu salah jika kita mengatakan bahwa modernisasi Indonesia dimulai pada periode ini. Keengganan para modernis Indonesia untuk memakai sistim Islam yang nantinya telah menyeret bangsa Indonesia yang akan diperjuangkan ke dalam lembah krisis yang berkepanjangan. Kunci perkembangan pada masa ini, sebagaimana disebut M.C. Ricklefs, adalah "munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan dikenalnya definisi-definisi dan konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah didengar oleh sebagian besar masyarakat Indonesia waktu itu." Ide baru tentang organisasi meliputi bentuk-bentuk organisasi dan sistem kepemimpinan yang baru, sedangkan definisi yang baru dan konsep-konsep baru yang, mengutip Ricklefs, "lebih canggih mengenai identitas meliputi analisis yang lebih mendalam tentang lingkungan agama, sosial, politik, dan ekonomi." Organisasi-organisasi kaum nasionalis itu terhimpun menjadi satu di dalam wadah yang bernama Perhimpunan Indonesia (PI). Di dalam perhimpunan ini terdapat banyak aliran pemikiran dan kecenderungan ideologis yang sedikitnya ada empat pikiran pokok dalam ideologi PI yang dikembangkannya sejak permulaan tahun 1925. Ideologi perhimpunan menempatkan kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan politik utama dengan memperhatikan persoalan-persoalan sosial dan ekonomi serta politik. Keempat pemikiran pokok itu adalah:

Pertama, Kesatuan Nasional: perlunya bangsa Indonesia mengenyampingkan perbedaan-perbedaan sempit dan perbedaan etnis serta kedaerahan sehingga perlu ada kesatuan aksi melawan Belanda untuk menciptakan negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu. Kedua, Solidaritas: kebulatan dan persatuan yang kukuh antara pribumi tanpa melihat perbedaan yang ada antara sesama orang Indonesia. Yang perlu disadari adalah antara "kita di sini" dan "mereka di sana" berbeda dan ada pertentangan kepentingan yang mendasar antara penjajah dan kaum nasionalis haruslah mempertajam konflik antara orang kulit putih dan sawo matang. Persatuan biasanya diperoleh karena ada musuh bersama dari luar. Ketiga, Non-kooperasi: gerakan yang sama sekali tidak mau berkompromi dengan segala hal yang berbau kolonial. Tidak bekerjasama ini diartikan sebagai upaya menyadari bahwa kemerdekaan bukan hadiah sukarela dari Belanda tetapi harus direbut dan diperjuangkan oleh seluruh rakyat bangsa Indonesia dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri, oleh kerena itu tidak perlu mengindahkan segala kebijakan yang dibuat oleh dewan perwakilan kolonial seperti Volksraad (Majelis Rakyat). Bahkan kaum nasionalis Islam lebih keras lagi dalam memandang Volksraad seperti Volkshuis (Rumah Rakyat) yang bertentangan "Rumah Tuhan" (Masjid). Keempat, Swadaya: dengan swadaya gerakan kaum nasionalis dimaksudkan sebagai "gerakan yang tidak berkenan bersyarikat dengan penjajah"; mengandalkan kekuatan sendiri dan mengembangkan suatu struktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum, yang kuat dan berakar dalam masyarakat pribumi dan sejajar dengan administrasi kolonial.

Yang jauh lebih penting dari pada kemenonjolan sementara dari sayap kooperasi gerakan nasionalis tahun 1930, adalah perpecahan yang terbuka antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Organisasi jahiliyah pertama yang menjadi cikal-bakal semua organisasi sekuler adalah Perserikatan Nasional Indonesia. Pada tanggal 4 Juli 1927 Sukarno dan Algemeene Studieclubnya memprakarsai pembentukan sebuah partai politik baru, Perserikatan Nasional Indonesia, dengan Sukarno sebagai ketuanya. Namun sekitar bulan Mei 1928 nama partai ini diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Tujuan PNI adalah kemerdekaan bagi Kepulauan Indonesia yang akan dicapai secara nonkooperatif dan dengan basis serta dukungan dari organisasi massa. Inilah partai politik penting pertama yang beranggotakan bangsa Indonesia, dimana program yang ingin dicapai dari PNI ini semata-mata mencita-citakan kemerdekaan politik, berpandangan kewilayahan yang meliputi batas-batas Indonesia yang nantinya akan memberlakukan ideologi nasionalisme 'sekuler'. Pada bulan Mei 1929 PNI telah mempunyai cabang-cabangnya di kota-kota besar di Jawa dan satu cabang di Palembang, serta menyatakan memiliki anggota sebanyak 3.860 orang (sebagian besar di Bandung, Batavia, dan Surabaya); pada akhir tahun 1929 jumlah anggota partai ini mencapai 10.000 orang.

Perbedaan paham antara kedua kelompok antara nasionalis Sekuler dan Islam melebar secara nyata pada tahun 1928 dan 1929 ketika pemimpin-pemimpin PSI semakin khawatir atas dominasi PNI dalam gelanggang politik dan atas kemerosotan dirinya yang berjalan terus. Usaha untuk mengorganisasi kembali dan meremajakan PSI tidak mampu mencegah merosotnya partai ini. Desas-desus tentang korupsi dalam partai hanya mempercepat proses kemunduran tersebut. Ketegangan antara golongan nasionalis sekuler dengan PSI mendekati titik perpecahan ketika dalam pengadilan terhadap Sukarno pada bulan Agustus diungkapkan sepucuk surat Tjipto Mangunkusumo kepada Sukarno tertanggal Maret 1928, di mana Tjipto memperingatkan bahaya Pan-Islamisme dan kemungkinan usaha-suaha Tjokroaminoto dan Salim untuk menguasai PPPKI. Kalau mereka berhasil, menurut Tjipto, akibatnya akan hancurlah gerakan nasionalis. Tjipto memperingatkan Sukarno terhadap “ulah pengkhianat” yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dengan PSI. Semua pembaharu pada awalnya adalah "pemberontak" atau cap-cap negatif lainnya yang diberikan oleh lawan-lawannya.

Begitu tajamnya kritikan yang dialamatkan kepada kelompok Islam telah membuat kalangan pemimpin Islam marah, disamping itu adanya kemerosotan di tubuh organisasi PSI, maka pemimpin-pemimpin Islam yang tergabung dalam PSI mengadakan perlawanan dengan serangan balasan terhadap kaum nasionalis sekuler pada umumnya dan PNI pada khususnya. Dibalik pertentangan yang begitu sengit ini sebenarnya telah tercipta sebuah pembentukan kepemimpinan Indonesia dimasa mendatang. Namun karena adanya pertentangan mengenai antara garis-garis agama dan ideologi dengan kesadaran diri untuk keluar dari kolonialisme membawa akibat besar dengan telah terpecah belahnya bentuk dasar kepemimpinan. Dan hal ini dimanfaatkan sekali oleh pihak Belanda untuk membuat penindasan baru sebagai jawaban terhadap permasalahan yang sedang terjadi yaitu dengan mengubah pandangan tentang kepemimpinan Indonesia di masa yang akan datang. Bukan hanya di sektor politik tapi juga di sektor ekonomi kolonialisme Belanda telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang ada di Pulau Banda. Pengerukan besar-besaran dari hasil kebun pala yang menjadi komoditas di daerah tersebut telah menyeret rakyat disana menghadapi segala kesulitannya. miskin

Sesungguhnya peran yang dimainkan oleh PPPKI pada sekitar tahun 30an untuk meminimalisasi perseteruan yang sedang terjadi antara golongan nasionalis Islam dan Sekuler tidak mampu berbuat banyak, bahkan perseteruan itu semakin meningkat sehingga membawa akibat perlu adanya koreksi tentang fungsi PPPKI sebagai suatu forum antara golongan yang mempunyai prinsip perjuangan koperatif dan non kooperatif. Dan hal ini pula yang mengancam tentang eksistensi PPPKI.

Dalam rapat PPPKI yang diadakan pada bulan Maret telah diambil keputusan berupa pelarangan membentuk kepengerusan ditingkat daerah tetapi cukup dengan menunjuk agen-agennya di kota-kota besar di Jawa yang bertujuan untuk mengadakan satu kontrol terhadap Dewan Penasehat dalam menjalankan semua aktifitas partai. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa federasi telah menyebar ke tingkat bawah dan terbentuk menjadi satu kekuatan politik. Pada rapat PPPKI di Solo tanggal 25 Desember 1929, ketika wakil-wakil partai anggota sedang mengadakan kongres partai, di di luar dari perkiraan mereka bahwa setelah beberap hari acara kongres itu dilangsungkan ada beberapa dari peserta kongres itu yang akan ditangkap. Padahal inti pembicaraan dalam kongres itu bukanlah pada reaksi terhadap pihak federasi tetapi pada seputar perkembangan gerakan nasionalis di masa depan. Dan di dalam serangkaian perdebatan ketegangan antara golongan nasionalis sekuler dengan nasionalis Islam mencapai puncaknya dan mengancam kelangsungan eksistensi federasi itu.

Hal yang menarik selama periode perjuangan PSI dalam federasi ini ialah dimana Sukiman seorang fungsionaris partai PSI yang juga merupakan pendiri dari PPPKI dan penganjur yang paling gigih dalam keinginannya memasukkan PSI ke dalam PPPKI. Pada kongres partai di Yogyakarta tanggal 24 – 27 Januari 1930, dia dan Drijowongso melaporkan tentang adanya serangan-serangan terhadap PSI, sambil mengajukan usul agar partai itu segera menarik diri dari federasi. Namun usulan yang diajukan oleh Sukiman tidak mendapat jawaban pasti karena dirinya tidak lagi mendapat dukungan dari ketua partai Tjokroaminoto. Bahkan sekarang peranan itu menjadi terbalik karena Tjokroaminoto berusaha mempengaruhi partai tentang manfaat PPPKI dalam situasi di mana Sukiman menghendakinya untuk keluar. Dalam pemikiran Tjokroaminoto sangat riskan jika PSI keluar dari kenggaotaanya di PPPKI dan berakibat buruk terhadap masa depan partai, ditambah semakin terjepitnya posisi partai antara kaum pembaharu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama yang konservatif. Ditambahkan oleh Tjokroaminoto, jika hal itu terjadi dalam partai maka lepaslah kesempatan dalam mempengaruhi golongan nasionalis sekuler, dan yang lebih parah lagi lambat atau cepat partai akan mati. Dan terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukannya selama menjadi anggota PPPKI, Tjokroaminoto dan Kartosoewirjo akan siap mempertanggungjawabkannya. Namun demikian, rapat tersebut tidak menyiapkan suasana untuk pengakuan semacam itu. Tjokroaminoto kemudian terpaksa memperbaiki usul ini dengan suatu usul lain bahwa bila PPPKI tidak puas dengan permintaan maaf secara tertulis dari dia dan Sukarmadji maka PSI akan keluar dari federasi.

Sekitar tahun 1930 PSI mengadakan kongres partainya, dan dalam salah satu keputusan kongresnya adalah mengubah nama partai menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Disamping itu ingin membuktikan kepada para pengecam tentang jati diri partainya, bahwa PSII| ini didirikan juga bertujuan hendak membentuk Negara Kesatuan Indonesia. Sekaligus berupaya untuk mengadakan rujuk dengan kalangan nasionalis sekuler. Akan tetapi rujuk dengan golongan nasionalis sekuler bukannya semakin lebih dekat. Pada bulan Juli dan Agustus hubungan ini malah memburuk akibat serangkaian karangan dalam surat kabar Soeara Oemoem, koran baru dari kelompok Studi Indonesia, yaitu karangan-karangan yang oleh banyak anggota PSII ditafsirkan sebagai penghinaan secara sengaja terhadap keyakinan mereka. Karangan-karangan yang dimuat selama hampir dua bulan mempertanyakannya manfaatnya perjalanan naik haji ke Mekkah yang dibandingkan dengan pembuangan para pemimpin nasionalis ke Boven Digul. Yang tersebut belakangan ini dianggap sebagai lebih berhak memperoleh penghargaan.

Haruslah kita mengenal lebih jauh lagi tentang bagaimana ideologi yang diperjuangankan oleh para nasionalis dalam kancah panggung politik Indonesia saat itu. Sesungguhnya Kaum nasionalis Indonesia saat itu memang sudah banyak terpengaruh oleh paham-paham demokrasi, liberalisme, kapitalisme, sosialisme, Islam dan, yang terbanyak, komunisme. Namun "daya celup Indonesia" terhadap semua ideologi itu sangat luar biasa. Misalnya, walaupun para pemimpin PI sangat terpengaruh oleh pikiran-pikiran Marxis-Leninis karena sudah menunjukkan kesuksesannya dalam membebaskan Rusia dan mengubahnya menjadi Soviet melalui sebuah Revolusi Bolshevik pada tahun 1917, namun sedikit sekali dari mereka itu yang menggunakan analisa konflik kelas (antara kelas buruh dan kelas majikan/bourguies) dalam masyarakat Indonesia. Sebagai gantinya, mereka melancarkan suatu perjuangan ras (race struggle) —sesuatu yang tidak ada di Rusia— antara orang Indonesia yang berkulit coklat melawan orang Belanda yang berkulit putih, antara bangsa Asia melawan bangsa Eropa atau, sebagaimana disebut Ingleson, sebagai perjuangan “sini” lawan “sana”. Rakyat Indonesia berusaha menekan perbedaan ideologis di antara mereka dan berusaha berjalan menuju suatu "revolusi integrasi".

Perjuangan antara ras coklat dengan ras putih juga merupakan pergulatan antara ras Asia dengan ras Eropa yang imperialis. Jika abad ke-20 dianggap sebagai abad Asia, maka kegagalan Belanda untuk hidup sesuai dengan cita-cita politik etis mengakibatkan kaum muda Indonesia berkesimpulan bahwa orang Asia tidak dapat lagi mengharapkan bantuan yang berarti dari bangsa Barat dalam usaha mereka mencapai kemerdekaan. “Janji palsu” yang sangat terkenal pernah diucapkan secara meyakinkan oleh Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum tahun 1918 tidak dapat diwujudkan karena terjadinya serangkaian kegagalan pembaharuan konstitusional tahun 1922 untuk mengadakan perubahan-perubahan penting; dan penolakan States General pada tahun 1925 terhadap pasal dalam rancangan undang-undang yang memungkinkan orang Indonesia menjadi mayoritas dalam Volksraad (parlemen yang didirikan di Batavia tahun 1918 dengan kekuasaan yang kecil, dengan mayoritas wakil-wakil orang Eropa dan dengan pemilihannya secara tidak langsung); maka semuanya itu semakin memerosotkan kepercayaan mereka kepada Belanda. Dalam pandangan kaum nasionalis Volksraad merupakan "parlemen palsu", untuk mengelabui kenyataan bahwa semua aspek kehidupan orang Indonesia sudah diakomodasi oleh pemerintah Belanda.

Kemudian muncullah zaman yang lebih buruk lagi di bawah masa pemerintahan Gubernur Jenderal Fock. Zaman ini ditandai oleh semakin ganasnya tekanan yang dilakukan oleh Gubenur Jenderal Fock terhadap kegiatan politik sejak tahun 1923, terutama terhadap PKI, memperkuat keyakinan mereka bahwa berkerja sama dalam sistem kolonial hanya merupakan "onani politik" yang sia-sia saja. Sistem kolonial harus dirombak secara radikal. Perombakan radikal ini hanya mungkin dilakukan dengan cara menarik garis perbedaan antara sana dan sini, artinya mereka menolak untuk berjuang dengan mempergunakan fasilitas pemerintah kolonial Belanda. Dalam suasana yang penuh hiruk pikuk perdebatan ideologis seperti inilah Kartosoewirjo dibesarkan. Dan mudahlah dipahami dalam atmosfir seperti ini ia berkenalan dengan berbagai aliran pemikiran, dan aliran pemikiran yang paling berpengaruh ketika itu adalah pemikiran Islam.

Selama di sekolah inilah Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Di masa kuliahlah ia mulai "mengaji" secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu "terasuki" oleh shibghahtullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded dan semua aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam sahaja. Dia pun kemudian meninggalkan sekolah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik. Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ia kemudian aktif di berbagai diskusi politik. Ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Hajo Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto inilah yang kemudian banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosoewirjo. Setahun kemudian dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena "terasuki" ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh "komunis" karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zalim.

Karena pengaruh pamannya yang sangat kuat, semakin membangkitkan minat Kartosoewirjo untuk memperdalam ilmu di bidang politik. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosoewirjo nantinya telah tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik dan sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Buktinya ialah semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java, di organisasi ini dia terpilih menjadi ketua cabang Jong Java di Surabaya. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota–anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya, bukan pada paham nasionalisme, dan tak lama setelah masuk dalam organisasi ini dia terpilih menjadi ketua cabang JIB Surabaya. Melalui dua organisasi inilah kemudian membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal "Sumpah Pemuda". Jadi Sumpah Pemuda bukanlah diprakarsai oleh segelintir orang-orang priyayi Jawa, melainkan oleh tokoh-tokoh Islam.

Di dalam kalangan priyayi Jawa yang 'baru', mereka memandang bahwa pendidikan merupakan sebagai kunci menuju kemajuan. Oleh karena itu mereka membentuk suatu organisasi yang benar-benar modern. Kelompok ini mewakili suatu aliran sosial dan budaya yang penting di Indonesia pada abad XX. Mereka itu terutama adalah abangan Pada awal abad XX. Di antara kalangan-kalangan atas pemerintahan (priyayi) yang berada di lingkungan kaum abangan ada yang berpendapat bahwa pendidikan Barat akan memberikan kepada mereka suatu kunci menuju suatu perpaduan baru yang mereka anggap sebagai dasar bagi suatu peremajaan kembali terhadap kebudayaan, kelas, dan masyarakat mereka. Di antara kelompok ini sebagian besar memandang Islam secara netral dan bersahabat, tetapi dengan semakin meningkatnya tekanan-tekanan Islam beberapa di antaranya menjadi memusuhi Islam.

Dengan keaktifannya di organisasi kepemudaan, Kartosoewirjo berkenalan dengan tokoh Agoes Salim dan Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin PSI (Partai Sjarikat Islam) yang kharismatik, di mana pandangan politiknya, terutama cita-citanya akan suatu Negara Islam (Daulah Islamiyah), yang di kemudian hari ternyata sangat mempengaruhi jalan pikiran Kartosoewirjo. Keakraban secara pribadi terjalin setelah Kartosoewirjo tinggal di rumahnya dan secara kontinyu memperoleh transformasi pengalaman politik dari Tjokroaminoto. PSI merupakan lawan ideologis partai-partai sekuler ketika itu. Partai sekuler yang paling anti dengan PSI adalah Partai Nasional Indonesia (PNI). PNI merupakan puncak usaha menemukan suatu partai yang didasarkan kepada ideologi yang pada intinya berusaha mewujudkan persatuan nasional, non-kooperasi, dan swadaya. PNI adalah organisasi sekuler yang sesungguhnya sangat anti Islam, namun tidak banyak disadari oleh rakyat Indonesia yang sudah tertutup matanya oleh figur kharismatik Soekarno. Maka, menjelang akhir tahun 1927, dominasi PNI dalam gerakan nasionalis sudah sangat luas, seiring dengan dominasi pribadi Soekarno dalam dunia pergerakan.

Penantangan atau persaingan kepemimpinan dan harapan untuk menjadi partai massa yang terbesar hanya diberikan secara tunggal oleh Serikat Islam. Sejak pembentukannya dalam tahun 1911 Sarekat Islam telah merupakan partai politik Islam yang terkemuka dan selama beberapa tahun telah menjadi partai massa satu-satunya dalam zaman kolonial. Kebesaran SI ini karena diawali oleh sebuah gerakan mesianistik Sjarikat Dagang Islam yang didirikan oleh Hadji Samanhoedi di Solo pada tahun 1905 yang kemudian berubah menjadi Sjarikat Islam yang lebih mengkonsentrasikan diri pada gerakan politik dan bukan semata-mata gerakan ekonomi sebagaimana dilakukan oleh SDI. Perkembangan SI mencapai puncaknya hingga tahun 1919 di mana hampir semua tempat di Indonesia sudah memiliki kantor cabang SI. Setelah jaya biasanya segera datang masa surut. Masa surut ini ditandai oleh terpecahnya SI menjadi dua bagian yang secara ideologis berbeda jauh: SI Merah (komunis) dan SI Putih (Islam). Tetapi pendukungnya telah menurun secara dramatis setelah tahun 1919, ketika PKI mengambil alih sebagian besar anggota SI dan memasukkannya pada SI Merah yang merupakan cikal-bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI pun mengalami kemerosotan karena meletusnya pemberontakan pada tahun 1926. Namun, kelemahan PKI bukan berarti kekuatan bagi PSI yang ternyata tetap berada dalam kemerosotan yang berjalan perlahan-lahan tetapi pasti. Namun demikian, kemerosotan PKI setelah pemberontakan, memberi keyakinan kepada para pemimpin Serikat Islam bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk mengembalikan kejayaan mereka sebelumnya, dan mengisi kekosongan politik dengan suatu partai yang diremajakan kembali.

Meskipun telah diadakan peningkatan kegiatan dan perhatian terhadap reorganisasi tahun 1927, Serikat Islam, yang pada tahun 1921 telah mengubah namanya menjadi Partai Serikat Islam (PSI), gagal untuk memperoleh kembali dukungan yang telah hilang, Kelemahan kepemimpinan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, merupakan sebab utama kegagalan tersebut. Tjokroaminoto dan Salim adalah para veteran dalam gerakan nasionalis religius, dan meskipun ada kegiatan sekelompok kecil anggota-anggota muda yang dipimpin oleh Sukiman, seorang dokter lulusan Amsterdam, mereka tetap dapat menguasai partai tersebut. Tekanan utama yang terus diberikan kepada Islam dan gerakan Pan Islamisme, telah menyia-nyiakan usaha-usaha PSI untuk menarik dukungan dari elite intelektual muda. Orang-orang ini sebaliknya lebih tertarik kepada citra yang lebih radikal yang diproyeksikan oleh PNI dan memberikan kepada partai tersebut kekuatan kepemimpinan eselon satu atau dua, yang merupakan suatu faktor utama bagi dominasi PNI dalam gerakan nasionalis.

PSI juga gagal dalam mencapai dukungan yang berarti pada tingkat pedesaan, terutama karena ia semakin mengucilkan dukungan kyai-kyai dan ulama pedesaan yang dalam tahun 1910 merupakan elemen kunci bagi keberhasilan PSI. Hilangnya dukungan ini sebagian juga disebabkan oleh tindakan-tindakan keras dari pemerintah terhadap PKI. Hanya sedikit orang yang sekarang bersedia mengambil resiko membantu suatu partai politik. Lebih penting lagi, sikap keagaamaan Tjokroaminoto yang tidak ortodoks dan acaman bahwa modernisme Islam PSI akan menyulitkan posisi mereka sendiri, menyebabkan mereka meninggalkan PSI. Untuk mempertahankan ortodoksi terhadap penyelewengan-penyelewengan ini, beberapa ulama di Jawa Timur mendirikan Nahdatul Ulama pada tahun 1926, yang keorganisasiannya segera tersebar ke seluruh Jawa. PSI akan jauh lebih sulit untuk dapat berakar di daerah pedesaan. PSI semakin terjepit antara modernisme dinamis dari Muhammadiyah yang mempunyai basis di kota dan ortodoksi dan konservatisme Nahdatul Ulama yang mempunyai basis di pedesaan.

Pada sisi yang lain, langkah-langkah imbangan yang dilakukan oleh pemerintah pada tingkat kabupaten dan desa ternyata efektif, dan baik pegawai-pegawai bangsa Eropa maupun pegawai-pegawai Indonesia semakin menaruh perhatian terhadap keluhan-keluhan di daerah, dalam suatu usaha yang yang cukup berhasil menghilangkan setiap isyu yang dapat dieksploitir oleh PSI. Perhatian terhadap keluhan yang benar ataupun yang merupakan hasil bayangan saja kemudian dibarengi dengan tindakan hukuman terhadap pemimpin-pemimpin PSI setempat yang kegiatannya mengancam ketenangan di daerah. Tindakan itu dapat berbentuk denda atau penjara bagi pemimpin daerah, tetapi meliputi juga taktik-taktik seperti pengaturan kembali kerja-kerja di desa yang bersifat mendesak agar jadwalnya jatuh bersamaan dengan rapat-rapat terbuka yang diselenggarakan oleh PSI, sehingga orang-orang desa akhirnya terhalang untuk mengikutinya, atau tercatat semua yang mengikuti rapat-rapat PSI setempat dan kemudian melaporkan kepada wedana untuk diwawancarai dan diperingatkan masing-masing secara pribadi. Tekanan tersebut memberikan masing-masing secara pribadi. Disamping itu memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan sebab di mana pun taktik itu dijalankan maka ternyata bahwa sejumlah besar anggota PSI segera melepaskan keanggotaannya atau mengembalikan kartu keanggotaannya kepada lurah desa.

Akhirnya, pembaharuan organisasi PSI hanya berlangsung di atas kertas, dan partai tersebut ternyata tidak mampu, bahkan saja pada tahun 1927 tetapi juga pada tahun-tahun berikutnya, untuk menciptakan suatu struktur organisasi yang kuat. PSI tidak bisa mencegah proses kemundurannya secara pelan-pelan, baik melalui kepemimpinan yang kuat maupun melalui reorganisasi. Dari persoalan ini kemudian timbul masalah lain yang lebih permanen sifatnnya seperti masalah kekurangan dana untuk menjalankan proyek-proyek yang lebih ambisius, yang sudah cukup membuat mereka mampu menyaingi nasionalisme keras dari PNI. Sidang kongres pada tanggal 1 Oktober 1927 menyetujui PSI untuk masuk sebagai anggota federasi yang direncanakan, sehingga dengan demikian memberikan kepada Sukiman dan Sukarno dukungan yang mereka perlukan untuk mengatur pembentukannya secara resmi. Untuk tujuan tersebut diadakan sebuah rapat pada tanggal 17 – 18 Desember 1927 di Sekolah Taman Siswa di Bandung. Hadir dalam pertemuan tersebut wakil-wakil dari PSI, PNI, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranenbond, Kaum Betawi dan Kelompok Studi Indonesia. Pada pertemuan tersebut menerima AD yang dipersiapkan oleh Sukarno dan Sukiman untuk membentuk suatu federasi yang dikenal dengan nama Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) dan memilih sebuah panitia yang terdiri dari Sabiran sebagai ketua, Sunarjo sebagai Sekretaris dan Dr. Samsi sebagai anggota ketiga untuk menyelenggarakan suatu konferensi dalam bulan Juli 1928. Sebuah dewan penasehat dibentuk untuk mengurusi masalah-masalah yang dihadapi oleh badan federasi sampai terbentuknya pengurusan tetap pada konferensi yang akan datang. Iskaq Tjokroadisurjo menjadi ketua, Dr. Samsi menjadi sekretaris merangkap bendahara, dan Sukiman berserta Sukarno menjadi anggota dewan penasehat tersebut. Terakhir sekali, rapat tersebut memutuskan agar dibentuk sebuah suratkabar nasional dan menunjuk Sartono dan Parada Harahap untuk menjajagi dan melaporkan rencana tersebut.

Akan tertapi, selama tahun 1919 pemerintah kolonial meninggalkan paham liberal, karena van Limburg Stirum mulai menyadari segala sesuatunya mulai tidak terkendalikan. Mula-mula dia berpaling kepada ISDV. Sejak Revolusi Rusia tahun 1917 ISDV telah menjadi badan komunis yang lebih nyata. Pada akhir tahun 1917 organisasi ini menghimpun sebanyak 3.000 orang serdadu dan kelasi ke dalam soviet-soviet (dewan-dewan), terutama di kota pelabuhan Surabaya. Selama tahun 1918 dan 1919 pemerintah membubarkan dewan-dewan tersebut, mengasingkan Sneevliet dan menahan atau mengasingkan sebagian besar orang-orang Belanda lainnya yang menjadi pimpinan partai ini. akan tetapi, ketika orang-orang Belanda yang radikal itu menghilang, ISDV atuh pada pimpinan orang-orang Indonesia, yang dengan cepat memungkinkan partai ini akhirnya mendapatkan basis masanya. Insulinde adalah organisasi berikutnya yang terkena pukulan. Pada awal tahun 1919 di Surakarta berlangsung kekacauan-kekacauan pedesaan yang dipimpin oleh Haji Misbach, yang khotbahnya mengenai doktrin bahwa Islam dan Komunisme adalah hal yang sama menjadikan dirinya terkenal sebagai 'haji merah'. Pemimpin-pemimpin Insulinde lainnya tampaknya juga terlibat, sehingga Misbach dan Douwes Dekker ditahan dan Tjipto Mangunkusumo diasingkan dari semua wilayah yang berbahasa Jawa. Selanjutnya adalah giliran SI.

Kaum nasional dari segala aliran politik dengan cepat menyambut pembentukan PPPKI sebagai suatu kemajuan penting dalam perjuangannya melawan Belanda. Ada kecenderungan untuk melihat pembentukan PPPKI itu sendiri sebagai pergeseran penting dalam perimbangan kekuatan dalam wilayah jajahan, walaupun peringatan-peringatan terhadap sikap puas semacam itu dikeluarkan oleh organ PNI dan oleh suratkabarnya Singgih Timboel. Problem utama ialah bahwa satu-satunya ikatan bersama yang kuat antara organisasi-organisasi nasionalis tersebut adalah suatu ikatan negatif, yaitu bahwa semua mereka menentang musuh yang sama, yaitu Belanda. Dalam bentuknya yang positif, semua partai-partai anggota menyatakan dengan lantang dan berulang-ulang keinginan mereka untuk bersatu agar dapat menghidupkan kembali masyarakatnya dan memaksa Belanda menarik diri, tetapi masih terdapat hal-hal yang belum disetujui bersama yang menarik masing-masing partai ke arah yang berbeda-beda. Dua isue terpenting adalah prinsip kooperasi dan non-kooperasi dan peranan gerakan Islam dalam gerakan kebangsaan dan, akhirnya, peranan Islam dalam negara Indonesia yang direncanakan. Dalam rumusan AD federasi Sukiman dan Sukarno berkeyakinan bahwa masalah-masalah ini telah dapat diselesaikan dengan menghindari pembahasan tentangnya dan menegaskan bahwa badan federasi hanya menaruh perhatian kepada hal-hal sampingan saja – hal-hal yang paling sedikit sangkut-pautnya dengan tujuan-tujuan dasar dari partai-partai anggota – sementara bidang-bidang yang paling utama dalam kegiatan politik diserahkan kepada masing-masing partai.

Namun demikian, pembentukan federasi tersebut merupakan sukses besar bagi Sukarno dan Sukiman. Pada saat isyu kooperasi/non-kooperasi menimbulkan emosi yang hebat dan di saat PSI merasa bahwa nasionalisme Islam terancam oleh ideologi sekuler PNI, maka terbentuknya suatu badan federasi merupakan suatu kemenangan bagi jerih payah dan keunggulan diplomatis dari kedua orang tersebut. Usaha keduanya bersifat saling mengisi dan tanpa salah satu dari keduanya maka PPPKI tak akan dapat terbentuk. Sukarno memberi dorongan kepada persatuan dan menunjukkan komitmen pribadi yang mampu menyingkirkan semua rintangan dan yang menggairahkan sejumlah besar partai dan pemimpin-pemimpin dari berbagai keyakinan untuk percaya bahwa suatu badan persatuan dapat terbentuk, dan adalah kemenangan pribadi bagi pembela yang gigih dari prinsip non-kooperasi itu bahwa ia dapat melakukan tawar-menawar secara damai dengan penganut paham kooperasi. Tetapi untuk dapat berhasil, ia memerlukan kerjasama dari partai Islam yang paling besar.

Pada awal tahun 1927 ketika dikeluarkan dari NIAS dan dikeluarkan dari JIB, Kartosoewirjo pulang ke rumah orang tuanya di Bojonegoro untuk beberapa bulan. Kepulangan Kartosoewirjo tersebut setelah sebelumnya mendengar khabar bahwa orangtuanya telah meninggal dunia. Untuk menunjukkan sebuah pengabdian kepada orangtua di sana dia menjadi guru partikulir guna membantu biaya hidup ibunya. Kehidupannya kemudian mengalami suatu pergolakan yang luar biasa. Pemikiran-pemikirannya menjadi demikian berkembang dan oleh beberapa orang Jawa yang masih jahiliyah ketika itu, pandangan-pandangan Kartosoewirjo dianggap cukup radikal. Bahkan hingga Jepang datang menjadi kekuatan imperialis baru, kisah hidup Kartosoewirjo masih berjalan pada jalur yang radikal ini, yang istiqamah. Padahal, imperialisme Jepang yang sudah dimulai sejak 1894 terkenal begitu kejam.

Namun dari serangkaian siksaan tentara Jepang yang terkenal biadab itu, ternyata ada seberkas janji yang membesarkan hati: janji pemberian kemerdekaan bagi Indonesia. Pada tanggal 7 September 1944 Perdana Menteri Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi 'Hindia Timur' (To-indo, istilah dalam bahasa Jepang yang terus dipakai secara resmi sampai bulan April 1954). Akan tetapi, dia tidak menentukan tanggal kemerdekaan itu, dan jelas diharapkan bahwa bangsa Indonesia akan membalas janji ini dengan cara mendukung Jepang sebagai ungkapan rasa terima kasih. Angkatan Darat ke-16 di Jawa kini diberitahu supaya mendorong kekuatan-kekuatan nasionalis, dan bendera Indonesia boleh dikibarkan di kantor-kantor Jawa Hokokai. Pada umumnya pihak angkatan laut masih tetap tidak tertarik pada keseluruhan gagasan tersebut. Sejak bulan Maret 1944 pihak angkatan laut telah membentuk beberapa komite penasihat di daerah kekuasaannya, tetapi komite-komite itu tidak mempunyai kekuasaan, hanya beranggotakan para pejabat serta bangsawan pribumi dan hanya mengadakan pertemuan beberapa kali sebelum menyerahnya Jepang. Angkatan Darat ke-25 di Sumatera mengumumkan berdirinya suatu Badan Penasihat Pusat (Sumatera Chuo Sangi-in) yang sifatnya konsultatif untuk pulau itu pada bulan Maret 1945, tetapi lembaga ini hanya satu kali mengadakan pertemuan di Bukittinggi sebelum berakhirnya perang.

Dalam bulan September pada tahun yang sama, Kartosoewirjo kembali ke Surabaya, dan selanjutnya menerima tawaran Hadji Oemar Said Tjokroaminoto untuk menjadi sekretaris pribadinya. Kemudian, dia turut serta menemani HOS Tjokroaminoto yang pindah ke Cimahi dekat Bandung. Di rumah Tjokro ini untuk pertama kalinya bertemu dengan Soekarno, yang di saat itu telah menjadi ketua PNI (Peserikatan Nasional Indonesia). Di rumah itulah mereka lama berdiskusi tentang politik, yang akhirnya Kartosoewirjo mendapat kesan bahwa Tjokroaminoto adalah penasehat politik Soekarno pada masa itu. Pertemuan yang sering antara Kartosoewirjo dan Soekarno pada saat konferensi PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia), yaitu suatu musyawarah organisasi-organisasi politik Indonesia, yang dibentuk atas inisiatif Soekarno. Baru bertemu kembali dengan Soekarno pada tahun 1942 di Jakarta pada kantor pusat Djawa Hokokai, ketika dalam pemerintahan militer Jepang.

Kini terbentuklah kelompok-kelompok pemuda dan militer yang baru. Untuk yang pertama kalinya Jawa Hokokai diberikan organisasi pemuda sendiri, Barisan Pelopor, yang pada akhir perang konon beranggotakan 80.000 orang. Pada mulanya Barisan Pelopor akan digunakan untuk menyiarkan propaganda, tetapi pada bulan Mei 1945 organisasi ini mulai mengadakan latihan gerilya. Para pemimpin pemuda perkotaan yang berpendidikan berhubungan dengan pemuda-pemuda kelas-bawah yang ada di kota-kota besar dan kecil, dan sebaliknya mereka secara resmi berhubungan dengan tokoh-tokoh Hokokai yang dipimpin oleh Sukarno. Pada bulan Desember 1944 Masyumi juga diperbolehkan memiliki sayap militer yang bernama Barisan Hizbullah (Pasukan Tuhan), yang memulai latihannya pada bulan Februari 1945 dan konon mempunyai 50.000 orang anggota pada akhir perang. Kepemimpinan didominasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan anggota-anggota kelompok PSII dari masa sebelum perang yang bersifat kooperatif yang dipimpin oleh Agus Salim. Sekali lagi, para politisi penting Islam dari masa sebelum perang yang bersifat nonkooperatif dilangkahi.

Pada bulan Desember 1927 di Pekalongan, saat kongres PSIHT (Partai Sjarikat Islam Hindia Timoer) Kartosoewirjo terpilih menjadi sekretaris umum PSIHT. Kemudian diputuskan juga melalui kongres, bahwa pimpinan partai harus dipindahkan ke Batavia. Setahun kemudian tepatnya pada bulan Oktober 1928, Kartosoewirjo pernah menjadi peserta kongres pemuda Indonesia mewakili partainya di Batavia, pada kongres tersebut Kartosoewirjo memberikan pandangan tentang hakikat pendidikan pada masa yang akan datang. Namun pandangannya itu bertentangan dengan pemikiran ketua kongres Sugondo. Sehingga, debat sengit pun tak dapat terelakan. Ketika Kartosoewirjo tetap mempertahankan argumentasinya, terpaksa Sugondo memukulkan palu di atas meja, maka berakhirlah perdebatan itu.

Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT, Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1928 Kartosoewirjo banyak melakukan perjalanan ke provinsi-provinsi dalam rangka tugasnya, berkaitan dengan jabatannya sebagai Sekretaris Umum PSIHT dia mengunjungi cabang atau ranting di daerah-daerah. Dan sempat dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke Malangbong, di sana dia bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera, yang pernah tertangkap oleh Belanda beberapa bulan karena terlibat dalam peristiwa Cimareme. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929, di saat itu usianya lebih muda dua tahun dari Kartosoewirjo. Dengan kepindahan dia ke Malangbong, maka terangkatlah diri Kartosoewirjo menjadi orang yang sangat terpandang di daerah tersebut. Bukan hanya karena reputasi mertuanya saja yang sangat berpengaruh di daerah Malangbong, akan tetapi reputasi dia juga cukup tinggi, di mana dia pernah merasakan sekolah di NIAS, menjadi sekretaris pribadi HOS Tjokroaminoto, menjabat sebagai sekretaris umum PSIHT dan anggota staff harian Fadjar Asia. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.

Pada tahun 1929, dalam usinya yang relatif muda sekitar 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur mulailah dia menerbitkan beberapa artikel-artikel. Langkah awal dalam artikelnya sudah berani mengkritik, sasaran pertama kritiknya ditujukan untuk menentang bangsawan-bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan Belanda. Di antara yang diserang oleh Kartosoewirjo adalah Sultan Solo, ketika Sultan ini mengadakan resepsi ulang tahunnya yang ke-64, Sultan Solo itu hanya memperhatikan wartawan-wartawan Belanda. Tentang Sri Sultan Kartosoewirjo menulis sebagai berikut:

“Rasa kebangsaan ta’ ada, keislaman poen demikian poela halnja, kendatipoen ia menoeroet titelnja mendjadi kepala agama Islam. Agama kebangsaan kita di tanah toempah darah ini. Bangsanja dibelakangkan dan bangsa lain diberi hak jang lebih dari batas..., jang soedah terang dan njata ialah: Boekan karena tjinta bangsa dan tanah air…, melainkan karena keperloean diri sendiri belaka, keperloean jang bersangkoetan dengan kesoenanannja.”


Selanjutnya dia menulis, bahwa tidak ada perbedaan, siapa yang berkuasa, apakah itu pemerintah sendiri atau pemerintahan bangsa lain, hasilnya sama saja, yaitu bahwa rakyat tidak memiliki kemerdekaan.

“Semendjak zaman keradjaan Padjadjaran sampai ke zaman Browidjojo, maka jang boleh dianggap merdeka tjoema radjanja sadja. Tetapi rakjatnja sedjak zaman itoe sampai ini waktoe tetap tinggal dalam gelombang perhambaan dan perhinaan jang serendah-rendahnja dan sedalam-dalamnja”.

PSIHT selalu berupaya untuk membela rakyat dan bangsanya, agar supaya kelak di kemudian hari Indonesia menjadi Indonesia merdeka dan agama Islam menjadi agama nasional bangsa Indonesia, demikian tulis Kartosoewirjo. "Nasionalisme dalam Islam boekan satoe sport atau peloeang waktoe dan joega boekan satoe tempat kesenangan melainkan adalah soeatu kewadjiban jang berat atau ringannja haroes ditanggungkan.” Kartosoewirjo melihat saatnya telah tiba, di mana rakyat telah terjaga dari tidurnya yang selama berabad-abad lamanya dan sadar akan kewajiban dan haknya serta sama-sama menemukan suatu persatuan yang berjuang untuk kepentingan rakyat. Persatuan ini bagi Kartosoewirjo adalah PSIHT. Dia mengeritik, bagaimana dengan cepatnya seseorang dituduh komunis, termasuk anggota PMI (Pemoeda Moeslim Indonesia) yang dituduh sebagai gerakan komunis yang dapat membahayakan keamanan dan tata tertib.

Kartosoewirjo memperhatikan nasib para petani kecil, “yang menyewakan tanahnya kepada perusahaan Barat atau pada kapitalis pribumi”. Dia juga marah sekali atas kenaikan pajak sawah hingga 90%. Dia juga mengeritik kerja rodi (Heerendienst) yang diganti dengan pembayaran tahunan, hanya karena tidak ada lagi lapangan kerja, akibat krisis ekonomi di Hindia Belanda pada masa itu. Ketika beberapa petani di Lampung yang diusir dari tanah mereka oleh “sekelompok kapitalis asing”, petani ini meminta bantuan kepada partai, Kartosoewirjo menulis tentang itu:

“Orang-orang Lampoeng dipandang dan diperlakoekan sebagai monjet belaka, ialah monjet jang dioesir dari sebatang pohon ke sebatang pohon lainnja.”
“Katanja ada Madjlis ini dan Madjlis itoe, ada Volksraad ada Vinciale Raad dan Madjlis Negeri (Tweede Kamer) dan segalanja boeat melindoengi ra’jat boeat menertibkan keamanan dan keadilan.” Tapi mana buktinya, tanya Kartosoewirjo. Bukankah ini semua: “omong kosong belaka?”

Dia mengajak para buruh untuk memperbaiki keadaan mereka: “Djanganlah berkeloeh-kesah! Djanganlah meminta-minta! Djanganlah tinggal diam sadja! Kalau takoet mati djanganlah hidoep! Kalau hendak hidoep, djanganlah takoet mati.”
Kartosoewirjo juga mencela hubungan orang-orang Belanda di perkebunan-perkebunan dengan wanita-wanita pribumi. Dan dia mengajak para orang kulit putih terutama pers Belanda untuk menjernihkan masalah ini:

“Kalau mereka sesoenggoehnja menghendaki perlakoean jang manis dari fihak kita, hendaklah mereka memboeang segala perlakoean jang tidak lajak kepada bangsa Indonesia.”

Kemerdekaan bangsa Indonesia hanya bisa dicapai dengan pengorbanan yang besar, demikianlah keyakinan Kartosoewirjo pada saat itu:

“Sebab kemerdekaan tanah air tidaklah sedikit harganja, jang oleh karena harganja, tentoe bakal memakan korban loear biasa.”

Karena artikel-artikel itu, Kartosoewirjo mendapat banyak musuh, tapi justru bukan di pihak penguasa kolonial, melainkan di pihak bangsanya sendiri, terutama di kalangan kaum nasionalis yang netral agama.

Perbedaan pendapat antara kaum nasionalis Islami dan yang netral agama lebih jelas nampak pada tahun 1928/29, dan yang lebih menonjol lagi ketika PNI lebih dominan di dalam pergerakan kebangsaan Indonesia dan di lain pihak mundurnya Partai Serikat Islam Hindia Timoer (PSHIT). Ketika kemunduran partainya tak dapat dibendung lagi, Kartosoewirjo meluapkan kekecewaannya dan menyerang para Nasionalis netral agama, terutama mereka yang menjadi anggota PNI. Maka dia dalam bulan-bulan terakhir jabatannya sebagai redaktur dan wakil pimpinan Fadjar Asia menyerang kaum Nasionalis netral agama. Artikel-artikelnya yang paling tajam tidak lagi ditandatanganinya dengan nama aslinya, melainkan dengan nama samaran “Arjo Djipang.”

Sasaran kritiknya adalah pimpinan redaksi Bintang Timoer, Parada Harahap yang dimakinya dengan kata-kata emosional tanpa meninggalkan analisis intelektualnya. Koran Bintang Timoer disebutnya reaksioner, Parada Harahap sendiri disebut sebagai penjual Bangsa Indonesia dan "Binatang tikoes dari Krekot.” Tentang Parada Harahap dia menulis sebagai berikut: “Si Parada Harahap mendjilat-djilat pantat dan mentjari moeka dan perlindoengan kepada kaoem Nasionalis (PNI), Mendjilat pantat dan mentjari moeka, karena ia perloe akan hal itoe sebab boleh djadi Parada Harahap takoet kalau ia lantaran berboeat berchianat terhadap kepada bangsa dan tanah-air kita --mendapat kemplangan di arah kepalanya, sehingga boleh djadi ia mendjadi tidak sadar kalau tidak mampoes sama sekali.”

Dan dia bertanya, “Parada Harahap kaja dari mana? Ta’ melainkan dari mendjilat pantat kaoem kapitalis dan mendjoeal boedi rochnja kepada orang asing.”
Keresahan yang besar di antara para Nasionalis timbul karena artikel Kartosoewirjo mengenai bank nasional. Apa itu, tanyanya: “Jang dinamakan “national” jang tak lain melainkan bank setjara barat, bank systeem tiroean, bank jang menimboelkan kapitalisme, bank jang mendorong kita ke arah persesatan, bank jang akan memperoleh hasil karena memoengoet rente.”

Koran harian Darmo Kondo di Solo menulis, bahwa artikel ini menggoncangkan kaum nasionalis Indonesia dan mendidihkan darah mereka. Darmo Kondo menganggap Nasionalisme kita ini aneh, tulis Kartosoewirjo. Dan dia melanjutkan: “Kebangsaan kita dianggap aneh oleh Darmo Kondo. Djanganlah kira kalau kita kaoem kebangsaan jang berdasarkan kepada Islam dan ke Islaman tidak berangan-angan ke Indonesia merdeka. Tjita-tjita itoe boekan monopolinja collega dalam Darmo Kondo. Dan lagi djangan kira, bila kita orang Islam tidak senantiasa beroesaha dan ichtiar sedapat-dapatnja oentoek mentjapai tjita-tjita kita, soepaja kita dapat menguasai tanah air kita sendiri. Tjoema perbedaan antara collega dalam Darmo Kondo dan kita ialah, bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia bagi Nasionalisme jang dinjatakan oleh redaksi Darmo Kondo itoe adalah poentjaknja jang setinggi-tingginja, sedang kemerdekaan negeri toempah darah kita ini bagi kita hanjalah satoe sjarat, soeatoe djembatan jang haroes kita laloei, oentoek mentjapai tjita-tjita kita jang lebih tinggi dan lebih moelia, ialah kemerdekaan dan berlakoenja agama Islam di tanah air kita Indonesia ini dalam arti kata jang seloeas-loeasnja dan sebenarnja. Djadi jang bagi kita hanja satoe sjarat (midel) itoe, bagi redaksi Darmo Kondo adalah maksoed dan toejoean (doel) jang tertinggi.”

Dengan demikian pengertian Kartosoewirjo tentang kebangsaan sesuai dengan pandangan Tjokroaminoto yang menulis sebagai berikut: “Islam itoelah tjita-tjita kita jang tertinggi, sedang nasionalisme dan patriotisme itoe ialah tanda-tanda hidoep kita sanggoep akan melakoekan Islam dengan seloeas-loeas dan sepenoeh-penoehnja. Pertama-tama adalah kita Moeslim, dan didalam ke Moesliman itoe adalah kita Nationalist dan Patriot, jang menoedjoe kemerdekaan negeri toempah darah kita tidak tjoema dengan perkataan-perkataan jang hebat dalam vergadering sadja, tetapi pada tiap-tiap saat bersedia djoega mendjadikan korban sedjalan apa sadja jang ada pada kita oentoek mentjari kemerdekaan negeri toempah darah kita.”

Pemerintah kolonial merasa khawatir akan dinamika baru di dalam pergerakan kebangsaan terutama yang ditimbulkan oleh PNI, karena dari permulaan, partai ini mengambil sikap radikal dan non-kooperatif dengan pemerintah kolonial. Tuntutannya jelas-jelas “kemerdekaan Indonesia”. Sehingga pemerintah mengambil tindakan respresif berupa pelarangan mengunakan istilah-istilah seperti “Merdeka” atau “Kemerdekaan” di dalam pidato-pidato Soekarno. Dan pada akhir tahun 1929 Soekarno bersama dengan tokoh-tokoh nasionalis lainnya ditangkap oleh polisi kolonial karena kegiatan politiknya sudah sangat meresahkan pemerintah kolonial. Tidak lama setelah itu PNI malah dibubarkan sendiri oleh tokohnya, Mr. Sartono. Sementara pada tahun yang sama Kartosoewirjo masih relatif tanpa rintangan dapat mengeluarkan gagasan-gagasan politiknya dalam Fadjar Asia.

Kecewa akan perkembangan politik pada umumnya dan karena kejatuhan partainya sendiri, Kartosoewirjo menulis: “Dikelak kemoedian hari, djika soedah terbit perang “Brontojoedo Djojobinangoen” kita berdiri di muka barisan kita. Sekarang ini baroe perang gagal sadja.”

Selama dia bekerja di Batavia, Kartosoewirjo hidup sangat sederhana, “Sebagai seorang lulusan ELS dan “putus kuliah” di NIAS, sesungguhnya dia dapat hidup cukup mampu sekiranya dia mau menjadi pegawai pemerintah atau bekerja pada kantor swasta. Tetapi Kartosoewirjo tampaknya lebih suka dalam kehidupan yang sederhana (qana’ah) serta mengabdikan semua tenaga dan pikiran bagi kehidupan partai dan jurnalistiknya. Ketika H.O.S Tjokroaminoto jatuh sakit, pada bulan September 1929 Kartosoewirjo mengambil alih pimpinan redaksi Fadjar Asia. Tidak lama setelah dia memangku jabatan sebagai pimpinan redaksi, Kartosoewirjo pun jatuh sakit disebabkan penyakit beri-beri. Karena ketekunan, kesungguhan dan kegairahan pengabdian yang tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya di harian Fadjar Asia, untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan. Sehingga, untuk sementara waktu dia dibebaskan dari tugas kesehariannya di Batavia, kemudian dia pulang ke kampung halaman istrinya di Malangbong untuk beristirahat sejenak menyembuhkan penyakit yang dideritanya.

Pada waktu Kartosoewirjo pindah ke Malangbong, di akhir tahun 1929 dalam kongres partai PSII, Kartosoewirjo terpilih menjadi wakil Partai tersebut untuk daerah Jawa Barat. Selama dia menjalankan tugas-tugasnya di Malangbong, dia tidak muncul di pentas percaturan politik. Sejarah tentang Jawa Barat ini perlu kita pahami terlebih dahulu sehingga kita bisa mengerti mengapa Kartosoewirjo memilih geografi Sunda ini sebagai tempat dikristalkannya Darul Islam, tempat dimulainya satu pernyataan sikap seorang mujahid. Tindak kekerasan di wilayah pedalaman Jawa semakin meningkat pada awal tahun 1924 ketika bermunculan kelompok-kelompok yang menamakan diri 'sarekat hijau', terutama di Priangan. Kelompok-kelompok tersebut merupakan gerombolan-gerombolan penjahat, para anggota polisi, dan para kyai yang mendapat dukungan pemerintah Belanda dan pejabat-pejabat priyayi. Pada awal tahun 1925 sekitar 20.000 orang anggotanya menyerang rapat-rapat PKI dan SI serta mengancam para anggota mereka. Pengawasan pemerintah semakin diperketat, dan apa yang tersisa dari pimpinan PKI sering berada dalam tahanan.

Pada tahun 1911 kaum muslim Indonesia di Jawa Barat mengambil langkah-langkah pertama ke arah pembaharuan secara hati-hati. Guru-guru Syafi'i membentuk Persyarikatan Ulama (Perserikatan Para Ilmuwan Agama); tetapi mereka juga terbuka menerima beberapa ide pembaharuan paham modern dan sedikit sekali berhubungan dengan kalangan pesantren yang bergaya lama. Keterbukaan dimulai ketika Persyarikatan Ulama membuka sebuah sekolah di tahun 1916, juga mendirikan sebuah panti asuhan yang dikelola oleh cabang wanitanya, serta melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan ekonomi, seperti percetakan, pertenunan, dan pertanian. Oleh karena itu kesempatan bagus tidak disia-siakan oleh Kartosoewirjo untuk menggunakan pengaruhnya demi meluasnya kegiatan PSII di daerah itu. kesempatan ini dipergunakan juga untuk menjalin hubungan pribadi dengan ulama setempat, bukan hanya di sekitar Malangbong, bahkan juga di daerah-daerah lain di Priangan Timur. Di bawah bimbingan mertuanya Ardiwisastera yang menjadi salah seorang anggota PSII terkemuka dari daerah itu dan seorang guru agama yang sangat masyhur dibantu para ulama yang lain Kartosoewirjo memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Usaha Kartosoewirjo tidak berlalu begitu saja, pada kongres Partai PSII tahun 1931 dia menjabat sebagai Sekretaris Umum PSII.

Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII) merupakan kelanjutan dari Sjarikat Islam (SI) yang dibentuk Hadji Samanhudi tahun 1912 di Solo. Sjarekat Islam itu sendiri berkembang dari Sjarekat Dagang Islam yang dibentuk oleh para pedagang pribumi sebagai jawaban atas gerakan emansipasi Cina pada awal abad ke-20.  Hanya dalam waktu 3 tahun sejak berdirinya SI, partai ini merupakan suatu gerakan massa yang beranggotakan hampir setengah juta orang. Setelah itu partai ini tidak pernah lagi beranggota sebanyak itu. Sebagai gerakan massa yang pertama dan hanya satu-satunya pada saat itu, Sjarikat Islam berusaha untuk mempersatukan sebanyak mungkin rakyat Indonesia di dalam satu organisasi, dan partai ini untuk pertama kali memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mewujudkan keinginannya. SI merupakan wadah bagi kekuatan politik yang bermacam-macam, dimulai dari Panislamist yang konservatif, hingga para Marxist radikal. Keaneka-ragaman kekuatan politik yang berwadah dalam partai ini menjadi problem yang utama, karena tidak lama kemudian muncul gejala-gejala perpecahan. Ketika Kartosoewirjo memasuki partai ini pada tahun 1927 yang sekarang disebut PSII, proses tersebut telah terjadi.

Sebelum membicarakan reaksi SI terhadap ideologi-ideologi modern ini, sebuah catatan singkat tentang Marxisme di Indonesia perlu disertakan. Marxisme atau kemudian lebih dikenal dalam baju komunisme pertama kali diperkenalkan oleh tokoh-tokoh Marxis Belanda, yang diketuai oleh H.F.J. Sneevliet.  Pada tahun 1913 H.J.F.M. Sneevliet (1883-1942) tiba di Indonesia. Dia memulai karirnya sebagai seorang penganut mistik Katolik tetapi kemudian beralih ke ide-ide sosial demokratis yang revolusioner dan aktivisme serikat dagang. Dia kemudian bertindak sebagai agen Komintern di Cina dengan nama samaran G. Maring. Pada tahun 1914 kelompok Marxis ini mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratsche Vereeninging, Organisasi Sosial Demokrat Hindia Belanda), di Surabaya. Partai kecil beraliran kiri ini dengan cepat akan menjadi partai Komunis pertama di Asia yang berada di luar negeri Uni Soviet. Anggota ISDV hampir seluruhnya orang Belanda, tetapi organisasi ini ingin memperoleh dasar di kalangan rakyat Indonesia. Pada tahun 1915-6 partai ini menjalin persekutuan dengan Insulinde (Kepulauan Hindia), sebuah partai yang didirikan pada tahun 1907 dan setelah tahun 1913 menerima sebagian besar anggota Indische Partij yang berkebangsaan Indo-Eropa, yang radikal. Anggota Insulinde berjumlah 6000 orang termasuk beberapa orang Jawa yang terkemuka, tetapi organisasi ini jelas bukanlah suatu alat yang ideal untuk menarik rakyat sebagai dasarnya. Oleh karena itulah, maka perhatian ISDV mulai beralih kepada Sarekat Islam, satu-satunya organisasi yang memiliki jumlah pengikut yang besar di kalangan rakyat Indonesia.

Lewat organisasi inilah kemudian gagasan-gagasan dan slogan-slogan Marxis diekspor ke dalam tubuh SI. Dengan menginfiltrasi SI diharapkan ISDV dapat menguasai massa. Pada tanggal 23 Mei 1920 sayap kiri partai SI di bawah pimpinan Semaun mengubah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia), dengan SI cabang Semarang sebagai pusatnya. Semaun dipilih sebagai ketuanya yang pertama, sekalipun pada waktu itu masih tetap sebagai anggota SI. Strategi dasar PKI ialah bagaimana menghancurkan pengaruh tokoh-tokoh SI yang lain dan membawa SI secara keseluruhan melalui infiltrasi ke dalam kamp komunis. Pada mulanya anggota PKI juga tetap menjadi anggota SI. Pengaruh kiri di dalam Sarekat Islam semakin bertambah besar karena ISDV berusaha memperoleh rakyat sebagai landasan. Pada tahun1914 seorang pemuda Jawa buruh kereta api yang bernama Semaun (lahir tahun 1899) menjadi anggota SI cabang Surabaya. Pada tahun 1916 dia pindah ke Semarang, di mana Sneevliet aktif dalam Sarikat Buruh Kereta Api dan Trem (VSTP: Vereniging Spoor en Tramweg-personeel). Kini Semaun juga bergabung dengan ISDV. Jumlah anggota SI Semarang berkembang pesat mencapai 20.000 orang pada tahun 1917, dan di bawah pengaruh Semaun cabang ini mengambil garis anti kapitalis yang kuat. Cabang ini menentang peran serta SI dalam kampanye Indië weerbaar, menentang gagasan untuk duduk dalam Volksraad, dan dengan sengit menyerang kepemimpinan Central Sarekat Islam (CSI). Dalam kongres SI tahun 1917 kelompok radikal tampak memperoleh dukungan yang sangat besar. Tjokroaminoto merasa takut akan dimulai pertikaian intern dengan mereka dan setuju melontarkan kecaman terhadap kapitalisme yang berdosa; dengan demikian, nyata-nyata mengecam modal asing dan Cina tetapi bukan modal yang ada pada para Haji Indonesia dan lain-lain. Abdul Muis (1890-1959), seorang Minangkabau yang pernah menjadi wakil SI di dalam delegasi Indië weerbaar ke negeri Belanda, melangkah sedemikian jauh ketika mengatakan bahwa apabila ternyata Volksraad gagal, SI akan memberontak.

SI kini terpecah menjadi beberapa kelompok, dan Kelompok aliran kiri yang dipimpin oleh cabang Semarang sangat menggebu-gebu dan berusaha keras untuk mendapatkan kekuasaan. Disamping itu pada tahun 1917 di daerah Jawa Barat telah didirikan suatu cabang revolusioner rahasia. Sangat sulit diharapkan dari mereka, disamping ketidak jelasan arah perjuangan juga keanggotaan rakyat sulit dikendalikan karena sebagian besar mereka cenderung terhadap tindakan kekerasan. Badai perpecahan di dalam tubuh SI ini ketika tahun 1915 muncul satu kekuatan baru di dalam tubuh SI. Pada tahun itu seorang Minangkabau bernama Haji Agus Salim (1884-1954), yang bekerja sebagai mata-mata polisi turut hadir dalam satu acara rapat yang diselenggarakan SI. Pada saat itula dia berubah niat justru ingin mendukung tujuan SI, dan membawa bersamanya komitment pada Pan-Islam dan Modernisme sebagai dasar yang tepat untuk menjalankan kegiatan politik partai.

Ketika diadakan pemilihan anggota Volksraad sekitar awal tahun 1918 sekaligus mengumumkan hasilnya—Abdul Muis dari CSI dan Abdul Rivai seorang Minangkabau yang menjadi anggota Insulinde, berhasil terpilih menjadi anggota,—namun seorang Gubernur bernama Jenderal van Limburg Stirum tidak puas dengan hasil ini. Dia menggunakan hak penunjukannya untuk mengangkat Tjipto Mangunkusumo (yang sudah kembali dari pengasingan) dari Insulinde dan Tjokroaminoto dari SI yang lebih bisa diajak bekerja sama. Adapun dari orang Eropa yang berhasil terpilih adalah anggota yang lebih progresif daripada sebagian besar anggota yang berkebangsaan Indonesia. Oleh karena itu Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond (Persekutuan Liberal Hindia Belanda) yang berkecenderungan terhadap politik Ethis bekerja bersama-sama dengan kaum Sosialis Belanda (Sociaal Democratische Arbeiderspartij: Partai Buruh Sosial Demokrat) dan orang-orang Indonesia yang lebih liberal mengadakan satu koalisi dengan membentuk suatu mayoritas dari anggota-anggota yang terpilih.

Tjokroaminoto yang ingin mempertahankan persatuan pergerakan nasional agak sedikit apologetik dengan memberikan kesempatan atau peluang pada golongan kiri. Tjokroaminoto mengatakan bahwa sosialisme Islam “lebih awal dan lebih baik dari sosialisme ciptaan Marx, baik dalam teori maupun praktek.” Lebih jauh dikatakan bahwa gagasan-gagasan sosialime sudah inheren dalam Islam. “Kita muslim, jadi kita sosialis,” ucap Tjokroaminoto. Ketika SI pada tahun 1921 memberlakukan peraturan baru dalam rangka melaksanakan disiplin partai yang tidak lagi memperbolehkan adanya keanggotaan yang ganda, akhirnya terjadilah perpecahan yang nyata dalam SI yang selanjutnya mempertegas wajah ke-Islamannya. Dan pada tahun 1930 SI berubah nama menjadi PSII (Partai Sjarikat Islam Indonesia).

Organisasi PSII memiliki tradisi non kooperasi yang panjang usianya. Kebijaksanaan politik tentang ini pertama-tama dirumuskan pada Kongres pertama partainya pada tahun 1923 dan 1924. Dengan menemukan ilhamnya dalam gerakan Mahatma Ghandi di India, dikembangkanlah konsep-konsep berdikari (swadeshi) dan dilenyapkannya struktur kolonial yang berlaku (hidjrah).  Sifat yang agak agresif dari politik non kooperasi PSII tercermin dalam kombinasi swadeshi dengan hidjrah. Jadi swadeshi sendiri yang sudah mengandung penolakan pengaruh kolonial, selanjutnya diperdalam oleh gagasan hidjrah, yang memungkinkan PSII merumuskan politik non kooperasi yang agresif tanpa perlu menggunakan pemberontakan terang-terangan.

Selanjutnya di dalam tubuh partai PSII terdapat pertentangan antara kedua kelompok besar, yaitu antara Dewan eksekutif (Ladjnah Tanfidzijah) di bawah pimpinan Abikusno Tjokrosujoso (adik Tjokroaminoto) yang tetap memperjuangkan politik non kooperasi, di mana dia tidak mau bekerja sama dengan fihak kolonial. Dan di satu pihak Dewan Partai di bawah pimpinan H. Agus Salim yang cenderung pada sikap untuk bekerja sama dengan kekuasaan kolonial. Dia khawatir, kalau politik non kooperasi diteruskan, akan ada kerugian forum politik yang akan mempercepat keruntuhan partai dan dia mendesak supaya diadakan suatu referendum tentang masalah ini.

Juga Roem berpendapat, bahwa rakyatlah yang paling menderita karena haluan yang dijalankan Abikusno ini. Sebab partai tidak lagi mewakili kepentingan rakyat di Volksraad dan semua itu hanyalah demi kepentingan politik partai. Meskipun sudah banyak alasan yang dikemukakan oleh Salim tetap tidak berhasil usul-usulnya itu diterima oleh partai, justru sebaliknya Abikusno menuduh Salim hanya untuk mencari kursi dalam Volksraad. Sebelum usul-usul Salim dapat diperdebatkan pada kongres partai yang berikutnya, Abikusno telah meletakkan jabatannya sebagai ketua partai pada akhir tahun 1935, sebab yang dikatakannya, dia tidak mau menghalangi Salim dalam usahanya itu.

Kartosoewirjo yang pada saat itu masih menjabat sebagai sekretaris Dewan Eksekutif, (Ladjnah Tanfidzijah), mengikuti langkah Abikusno meletakkan jabatannya. Pada kongres partai ke 22 di Batavia bulan Juli tahun 1936 Abikusno terpilih menjadi ketua partai PSII. Setelah cara pemilihan pimpinan partai yang baru diberlakukan, yaitu kongres partai hanya harus memilih ketua partai saja. Di kongres ini terlihat jelas bahwa Abikusno lebih kuat dibandingkan dengan Agus Salim, dengan demikian Abikusno terpilih menjadi formatur, yang dapat memilih sendiri anggota-anggota pimpinan lainnya. Dan melalui rapat formatur ini Abikusno segera mengangkat Kartosoewirjo menjadi wakilnya. Jabatan sebagai wakil ketua PSII dipegang Kartosoewirjo sampai ia keluar dari partai dalam tahun 1939.

Setelah terpilihnya Abikusno menjadi ketua partai dia mengumumkan bahwa pertentangan mengenai politik hidjrah telah berakhir dan memerintahkan semua cabang-cabang partai tersebut untuk tidak mengambil peduli pada saran-saran Salim. Dalam bulan November 1936 dengan perasaan yang sangat kecewa atas sikap Abikusno itu Salim membentuk suatu fraksi sendiri dalam tubuh partai PSII di bawah pimpinan Moehammad Roem. Fraksi tersebut diberi nama “Barisan Penjadar PSII” dan Salim berharap, bahwa di suatu saat nanti usul-usulnya untuk bekerja sama dengan pemerintahan kolonial akan disetujui. Setelah mendengar khabar bahwa Salim membentuk fraksi baru tersebut, Abikusno segera memberikan responnya dan mengumumkan kepada anggota-anggota PSII , bahwa politik hidjrah menjadi politik resmi partai tersebut, dan dia melarang cabang-cabang partai dengan ancaman pemecatan, bila mereka mendiskusikan usul-usul Salim atau mendukung fraksi Salim. PSII hanya mencontoh Sunnah Rasulullah dan bukan mengikuti pola pergerakan Barat, kata Abikusno. Anggota-anggota fraksi Salim merasa bahwa mereka yang sudah sangat berjasa untuk partai dan berjasa untuk “Oemat Islam dan kaoem sebangsa Indonesia, oleh poetjoek pimpinan “Baroe” dibentjana namanya dan kehormatannja.” Pucuk pimpinan kekurangan kesadaran sebagai pimpinan partai Islam yang hendak menjunjung agama Islam. Tulis Sabirin. Sabirin sebagai anggota fraksi Salim yakin, bahwa PSII akan menjadi satu perhimpunan rakyat “dalam pengawasan polisi, tertutup langkahnja dalam politik.” Begitu juga Moh. Roem sebagai ketua Barisan Penjadar menulis bahwa dari pergerakan politik Indonesia akhirnya hanya tinggal namanya saja. Hak-hak dasar demokrasi dianggap rendah oleh pimpinan partai, hak untuk mengeluarkan pendapat secara bebas bagi anggota partai dilanggar, tulis Moehammad Roem. “Partai memboetoehkan ketentraman, ketentraman jang akan terdapat djika “doodsklok” soedah diboenjikan, ketentraman di liang koeboer.”

Dalam bulan Januari 1937 Salim, Roem, Sabirin, Sangadji, Muslich dan 23 anggota fraksi Salim yang lainnya dikeluarkan dari keanggotaan PSII. Dengan demikian terjadilah perpecahan PSII lebih lanjut, karena Salim segera membentuk suatu partai Islam baru yang berdiri sendiri, yang disebutnya “Pergerakan Penjadar”. Kritikan juga dilancarkan oleh Kartosoewirjo kepada Agus Salim ketika diadakan kongres partai, dan Kartosoewirjo menuntut suatu penerapan politik hidjrah yang tidak mengenal kompromi. Kartosoewirjo menerangkan, bahwa politik ini merupakan suatu jalan tengah antara Non-kooperasi dan Kooperasi. Oleh karena itu, dalam kongres Abi Kusno menugaskan Kartosoewirjo untuk menyusun suatu brosur tentang sikap hidjrah partai PSII.

Abikusno Tjokrosujoso membuat pernyataan bahwa kongres PSII Juli 1936 telah menyetujui politik Hijrah dan telah diuraikan secara terperinci oleh Kartosoewirjo dalam suatu brosur dua jilid mengenai masalah ini yang judulnya berbunyi “Sikap Hidjrah PSII” dan untuk Kata Pengantarnya sendiri akan dibuat olehnya serta ditandatanganinya sebagai presiden dan Arudji Kartawinata sebagai sekretaris PSII.

Hasil kongres yang telah diputuskan bersama itu mendapat kritikan dari anggota-anggota fraksi Salim, mereka menyatakan bahwa penjelasan tentang politik hidjrah tidak dapat diperoleh melalui pimpinan partai apalagi melalui brosur-brosur Kartosoewirjo. Semua itu kelihatan hanya sebagai suatu bungkusan yang indah tetapi tanpa isi, tulis Sabirin. Kenyataannya politik Hidjrah atau politik Non kooperasi PSII juga tetap tanpa hasil seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Kritik Moh. Roem terhadap brosur Kartosoewirjo terutama ditujukan pada bab akhir, di mana Kartosoewirjo di dalam brosurnya menerangkan politik Hidjrah. “Mengapa tidak diterangkan setjoekoepnja? Tanya Moehammad Roem. “Oentoek pengertian jang lebih djelas, lebih baik diadakan sadja dhoekir “baroe” jaitoe, mengoetjapkan perkataan “Politik Islam “100 kali”, begitu sarannya.

Pertanyaan tentang Non Kooperasi atau Kooperasi tidak dibahas Kartosoewirjo di dalam brosur-brosurnya, hal itu sesuai dengan petunjuk Abikusno. Masalah Non Kooperasi tidak penting bagi PSII dan tidak ada gunanya. Hanya untuk memikirkan hal tersebut sudah merusak pikiran kita, tulis Kartosoewirjo. Sebagian besar brosurnya ditujukan pada pembahasan arti sebenarnya dan maksud hijrah. Dibedahnya Al-Quran yang memuat kata hijrah dan dijelaskan artinya dalam konteks yang relevan. Penafsiran dan pandangan Kartosoewirjo tentang perubahan konsep pada konteks kolonial sangat teliti dan jauh jangkauannya. Dengan mendasarkan diri pada Al-quran dinyatakan hijrah sebagai kewajiban “semua pria dan wanita, tua dan muda,” kecuali mereka yang lemah, dan hijrah tidak boleh dihentikan “sebelum Falah (Keselamatan) dan Fatah (Kemenangan atau Pembukaan) tercapai.

Menurut Kartosoewirjo PSII berdiri di luar badan/lembaga yang dibentuk oleh pemerintah kolonial, tetapi partai ini tidak akan tinggal diam, bila rakyat dan bangsa akan dirugikan. Program politik PSII dia bandingkan dengan Jihad selama waktu Hidjrah. Menurut Kartosoewirjo, politik PSII adalah politik Islam, yang ia terangkan sebagai berikut: “Jang dimaksoedkan dengan politik dalam faham Party Sjarikat Islam Indonesia ialah politik Islam, politik sepandjang adjaran-adjaran Islam. Dan dari sendirinja, maka politik jang didjalankan oleh PSII ialah politik Islam. Boekan politik barat atau politik membarat! Boekan politik jang tidak ada sangkoet-paoetnja dengan Islam dan boekan poela politik jang “Boekan politik Islam” atau politik di loear Islam”! Dalam brosurnya jilid I, Kartosoewirjo membahas hubungan antara manusia dan agama, begitu juga antara agama dan politik. Sejarah PSII antara tahun 1912-1936 dia bagi dalam tiga tahap, tahap I, zaman Qouliyah yaitu antara tahun 1912-1923. Pada tahap ini perhatian partai kebanyakan ditujukan pada hal-hal duniawi. Tahap yang kedua adalah zaman Fi’liyah yaitu antara tahun 1923-1930, suatu zaman peralihan, dan tahap yang ketiga adalah zaman I’tiqadiyah setelah tahun 1930. Pada tahap ini manusia sadar akan kewajiban-kewajiban agamanya. Kartosoewirjo menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menciptakan suatu dunia Islam yang murni. Dalam dunia Islam manusia harus menjalankan perintah-perintah Allah dan nabinya secara sungguh-sungguh dan benar.

Dalam jilid II, Kartosoewirjo menjelaskan penafsiran arti-arti hidjrah, yang bagi PSII merupakan kewajiban dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Berbeda dengan Non Kooperasi yang mempunyai arti yang lebih negatif, Hidjrah merupakan sikap yang positif, demikian Kartosuwiryo. Dia juga menentang pendapat yang tersebar luas di Barat, bahwa jihad selalu harus berarti perjuangan fisik. Dia membedakan dua macam Jihad, yaitu jihad kecil (jihad ul asghar) untuk melindungi agama terhadap musuh-musuh luar, dan jihad besar (jihad ul akbar) yang ditujukan untuk memerangi musuh dalam diri manusia itu sendiri. Dan karena tidak ada Hidjrah tanpa Jihad, maka PSII menyusun suatu program Jihad yang menjadi bagian dari “jihad PSII”.

Pada kongres partai PSII yang ke 23 tahun 1937 di Bandung, di bawah pimpinan Kartosoewirjo dibentuk suatu komisi yang harus menyusun suatu “program aksi hidjrah” (Daftar Oesaha Hidjrah PSII). Di mana penyusunan program tersebut telah diputuskan juga dalam kongres partai yang berikutnya pada tahun 1938 di Surabaya. Serta diputuskan juga akan didirikan suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama “Soeffah PSII”, yang akan dibuka pada tanggal 20 Februari 1939 di bawah pimpinan Kartosoewirjo sendiri sebagai wakil presiden PSII, yang bertujuan untuk pendidikan politik bagi kaum muslimin Indonesia, agar dengan demikian mereka dapat memerintah negara mereka sendiri bila saatnya nanti telah tiba, khususnya bagi anggota PSII yang laki-laki.

Akan tetapi sangat disayangkan sekali program yang baik tersebut tidak bisa terwujud melalui partai seperti yang direncanakan semula, karena dalam beberapa tahun kemudian situasi dalam partai PSII mengalami perubahan haluan politiknya.  Pada tahun 1939 Kartosoewirjo terlibat dalam pertengkaran yang sengit dengan mayoritas pimpinan PSII yang diketuai Abikusno. Sebagai pimpinan partai Abikusno mengajak Kartosoewirjo untuk memutar haluan politik partai dengan bergabung ke GAPI (Gabungan Politik Islam) dalam mengatasi tekanan Pemerintah Kolonial yang makin mendesak. Tetapi Kartosoewirjo tidak ikut melaksanakan perubahan arah balik politik ini dan tanpa kompromi tetap istiqomah pada pendiriannya, di mana satu-satunya haluan yang benar adalah politik Hidjrah. Menurut Kartosoewirjo tuntutan GAPI, adalah pembentukan suatu parlemen Indonesia, dan itu merupakan “sikap kooperasi juga namun, dengan corak yang lain”.

Perubahan politik PSII dari garis non kooperasinya yang dulu membuat brosur Sikap Hidjrah PSII yang dibuat oleh Kartosoewirjo begitu besar arti dan nilainya, kini sudah tidak berguna lagi. Pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh Kartosoewirjo dicap sebagai anakronisme (yang tidak berkesesuaian). Maka untuk mempertahankan kebenaran sikap PSII, Kartosoewirjo dengan anggotanya yang sealiran antara lain Jusuf Taudjiri, dan Kamran membentuk partai baru yaitu Komite Pembela Kebenaran PSII (KPK-PSII). Karena dimaksudkan untuk bergerak di dalam PSII. Pada awal tahun 1939 Dewan Eksekutif PSII mengeluarkannya dari partai, yang sebelum pemecatan Kartosoewirjo dituduh telah menyalahgunakan uang partai. Dengan tindakan yang sepihak dari partai ini Kartosoewirjo tidak menghiraukannya dan terus melanjutkan rencananya semula untuk melaksanakan program aksi hidjrah dan pembentukan lembaga pendidikan kader.

Pada kongres partai yang ke 25 dalam bulan Januari 1940 di Palembang, melalui keputusan yang diambil komite eksekutif partai resmilah pemecatan Kartosoewirjo, Joesoef Taudjiri, Akis, Kamran, dan Sukoso dengan perimbangan 134 suara setuju, 9 suara netral. Dan diputuskan juga dalam kongres tersebut bahwa pelaksanaan program aksi Hidjrah tidak lagi diteruskan dan komisi yang sebelumnya ditugaskan untuk menyusun program ini, akan dibubarkan. Serta semua anggota PSII dilarang untuk memasuki Partai yang dibentuk oleh Kartosoewirjo.

Dalam bulan Maret 1940 melalui rapat umum komite Kartosoewirjo memutuskan mengubah KPK-PSII menjadi sebuah partai independen, yang berkantor pusat di Malangbong. Maksud yang terkandung sesungguhnya di belakang ini adalah bahwa komite akan berkembang menjadi PSII yang sebenarnya. Karena PSII Abikusno Tjokrosujoso dirasakan terdiri dari orang-orang yang telah mengkhianati haluan politik partai PSII yang telah dirintis oleh pembesar-pembesar partai sebelumnya dan berkhianat atas perjuangan masyarakat Islam yang sebenarnya. Dengan memakai anggaran dasar dan peraturan-peraturan PSII yang lama, Kartosoewirjo ingin menegaskan bahwa KPK PSII adalah kelanjutan yang sebenarnya dari PSII yang lama. Sebab Kartosoewirjo merasa yakin bahwa partainya ini adalah partai PSII yang benar.

Menurut Horikoshi, pada sidang KPK-PSII yang pertama dalam bulan Maret 1940, dihadiri oleh enam cabang PSII yang lama dari Jawa Barat di antaranya dari Cirebon, Cibadak, Sukabumi, Pasanggrahan, Wanaraja dan Malangbong. Dalam sidang itu, keluar juga Daftar Oesaha Hidjrah PSII yang penyusunannya ditugaskan kepada Kartosoewirjo ketika dia masih menjabat sebagai wakil ketua PSII. Daftar Oesaha Hidjrah PSII tersebut masih keluar dengan judul aslinya dan dicetak oleh penerbitan yang didirikan oleh Kartosoewirjo di Malangbong, yaitu “Poestaka Darul Islam”.

Kartosoewirjo juga masih merencanakan untuk menerbitkan suatu penafsiran tentang program tersebut (Tafsir Daftar Oesaha Hidjrah) tetapi rencana ini tertunda. Dalam kata pengantar brosurnya, Kartosoewirjo tidak menyebut pemecatan dirinya dari PSII yang terjadi sebelumnya dan juga tidak menyinggung bagaimana terjadinya pembentukan KPK-PSII. Bahkan dia memberi kesan, bahwa dia sekarang mewakili PSII yang sebenarnya. Dia hanya menyayangkan, bahwa Daftar Oesaha Hidjrah PSII tidak lagi dapat diterbitkan sebelum berlangsungnya kongres PSII di Surabaya seperti yang direncanakan. Dalam Bab I brosurnya, Kartosoewirjo membahas struktur masyarakat yang menurut dia terdiri dari tiga macam masyarakat yang berbeda-beda dalam hukum dan haluannya, dalam susunan dan aturannya dan dalam sikap dan pendiriannya, tetapi hidup bersama-sama dalam satu negeri.

Ketiga macam masyarakat tersebut adalah masyarakat Hindia Belanda atau “masyarakat kejajahan” yang berkuasa; berikutnya adalah masyarakat Indonesia yang belum mempunyai hukum maupun hak dan tidak mempunyai pemerintahan sendiri, dan yang ketiga adalah masyarakat Islam atau “Darul-Islam”. Perbedaan antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Islam menurut Kartosoewirjo adalah sebagai berikut: “…masyarakat kebangsaan Indonesia mengarahkan langkah dan sepak terdjangnja ke djoeroesan Indonesia Raja, agar soepaja dapat berbakti kepada Negeri toempah darahnja, berbakti kepada Iboe-Indonesia. Sebaliknja, kaoem Moeslimin jang hidoep dalam masjarakat Islam atau Daroel-Islam, “tidaklah mereka ingin berbakti kepada Indonesia atau siapa poen djoega, melainkan mereka hanja ingin berbakti kepada Allah jang Esa belaka”. Maksoed toedjoeannja poen boekan Indonesia Raja, melainkan Daroel-Islam jang sempoerna-sempoernanja di mana tiap-tiap Moeslim dan Moeslimah dapat melakoekan hoekoem-hoekoem agama Allah (Islam), dengan seloeas-loeasnja, baik jang berhoeboengan dengan sjahsiyah maoepoen idjtima’iyah.

Pada bab berikutnya, Kartosoewirjo menyebutkan alasan-alasan turunnya “harkat derajat manusia atau bangsa”, yaitu karena “membelakangkan dan membohongkan agama Allah”. Kartosoewirjo mengharapkan persatuan dunia Islam dengan umatnya secara keseluruhan. Dan dia yakin, hanya dengan cara demikian dapat tercipta suatu dunia baru atau “Darul Islam”. Program aksi Hidjrah dia bagi dalam bidang-bidang politik, sosial, ekonomi, ibadah dan satu bidang tentang mistik Islam serta “ajaran Islam yang lainnya”. Dalam bagian tentang politik dia tanpa memberikan keterangan lebih lanjut hanya menyebut politik Islam nasional, politik Islam Internasional dan politik Islam terhadap dunia non Islam. Selanjutnya Kartosoewirjo menulis bahwa “kalau kita Hidjrah dari Mekkah Indonesia ke Madinah Indonesia…, boekanlah sekali-kali kita haroes berpindah kampoeng dan negeri beralih daerah dan wilajah, melainkan hanjalah di dalam sifat, thabi’at,, amal, itiqad dan lain-lain sebagainja.” Untuk mencapai Darul Islam yang sesempurna-sempurnanya, tulis Kartosoewirjo selanjutnya, manusia harus melepaskan “sifat, thabi’at dan laku ke-Mekkah-an dan beralih kepada sifat, thabi’at dan laku ke-Madinah-an.”

Tentang perekonomian dia menerangkan, bahwa sistem perekonomian harus berlandaskan pada solidaritas dan kolektivitasme. Harta yang berlebihan dari pada keperluan diri masing-masing atau rumah tangga haruslah disetorkan ke dalam tempat perbendaharaan umum seperti Baitul-Mal yang kemudian akan digunakan untuk membantu mereka yang berekonomi lemah. Dengan cara demikian tidak terdapat penumpukan kekayaan yang berlebihan dan kemiskinan akan dapat diperangi. “Ini adalah gambaran dunia Islam yang kita inginkan” demikian tulis Kartosoewirjo.

Pada bulan Maret 1940, rencana Kartosoewirjo diterima oleh kongres KPK PSII yang mengesahkan sebuah resolusi untuk membuka lembaga pendidikan kader “Suffah” di dekat Malangbong. Lembaga Suffah tersebut dibentuk dalam gaya sebuah pesantren tradisional, di mana para siswanya juga bertempat tinggal di sana. Kartosoewirjo sendiri mengajarkan bahasa Belanda, astrologi, dan ilmu tauhid kepada para siswanya. Metode pengajaran diambil dari metode H.O.S. Tjokroaminoto yang berarti bahwa para siswa di samping mendapat pengajaran pengetahuan umum dan pendidikan agama Islam juga dididik dalam Ilmu politik. Karena mengetahui bahwa mereka menghadapi kehilangan kekuasaan, maka pihak Jepang memutuskan untuk menghapuskan kekangan-kekangan yang masih ada terhadap kekuatan rakyat Indonesia. Angkatan Darat ke-16 mendesak unsur-unsur yang lebih bersifat hati-hati di dalam hierarki-hierarki Jepang supaya bertindak dengan cepat, karena mereka benar-benar mengetahui bahwa bibit-bibit revolusi telah tertanam dalam di Jawa. Pada bulan Maret 1945 pihak Jepang mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang mengadakan pertemuan pada akhir bulan Mei di bangunan lama Volksraad di Jakarta. Keanggotaannya mewakili sebagian besar pemimpin setengah baya di Jawa yang masih hidup yang berasal dari semua aliran pemikiran yang penting. Radjiman Wediodiningrat menduduki jabatan ketua, sedangkan Sukarno, Hatta, Mansur, Dewantara, Salim, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasjim, Mohammad Yamin, dan yang lain-lain duduk sebagai anggotanya. Keputusan pengangkatan para pemimpin dari generasi tua ini diharapkan oleh Pihak Jepang dapat diajak kerja samanya bila sudah merdeka nanti.

Sebagai dasar pendidikannya dia menggunakan konsep Daftar Usaha Hidjrah yang terdiri dari 5 bagian itu. Siswa-siswanya tidak hanya berasal dari Jawa Barat, tetapi juga dari provinsi lainnya di Jawa dan dari Sulawesi Selatan, Sumatra dan Kalimantan. Awalnya banyak siswa yang merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di lembaga Suffah yang penuh dengan disiplin, pekerjaan yang berat dan makanan yang sederhana. Ternyata dengan niat yang suci dan hati yang tulus untuk mendapatkan ridho ilahi akhirnya mereka mampu menempa dirinya dengan semangat Ruhul-Islam yang memancar dalam pribadi-pribadi kemusliman mereka, dan pada akhirnya dengan kesadaran, keyakinan dan panggilan Ilahi untuk memenangkan Agama Allah di muka bumi ini, mereka siap sedia dengan hati yang ikhlas menjadi tulang punggung kekuatan Darul Islam dan menjadi ma’mum yang setia atas imam Kartosoewirjo, yang di kemudian hari bersama-sama bahu membahu untuk tetap menggalang Negara Kurnia Allah yang diproklamasikan pada tanggal 7 Agustus 1949.